Aku meninggalkan rumah ketika Galan sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Niat bulatku pergi tanpa pamit ini dengan harapan Galan terbuka pikirannya, bahwa aku ini istrinya yang selalu kesepian ditinggal di rumah sendirian.

SEANDAINYA aku bisa menghentikan angin, barangkali hatiku tak perlu segalau sekarang. Sebab ada penyejuk yang menyeka setiap risauku. Atau seandainya aku dapat menuai seluruh embun yang membulir di dedaunan pagi, pastilah hati ini akan selalu teduh. Namun kegerahan jiwa ini terus menggejala setiap saat tanpa mengenal detik, ataupun bilangan angka waktu. Gelisah ini terus membara tanpa dapat kutemui obatnya.
Seperti hari ini, aku masih menunggu dalam sekat waktu yang membeku. Kepergianku dari rumah yang kuharapkan dapat menjauhi masalah, ternyata justru sebaliknya, makin menuai beribu masalah baru. Mungkin aku terlalu emosi sehingga dengan kecongkakanku enggan mengalah. Padahal, belum tentu juga aku benar dan bisa jadi malah Galan yang benar atas pendapatnya.
Aku meninggalkan rumah karena merasa jengkel atas keputusan-keputusan sepihak Galan. Sebagai suami, Galan terlalu sempurna sehingga menyuburkan rasa cemburu di hatiku terhadap setiap kecurigaan yang kumiliki. Apalagi sebagai anak tunggal, Galan rasanya tidak bisa lepas dari keinginan orang tuanya yang menginginkan cucu yang lucu-lucu. Sementara aku, wanita yang berlatar belakang susah. Bahkan mengenyam bahagia pun rasanya hanya mimpi. Oleh sebab itulah aku begitu semangat ketika Galan mengajakku menikah. Karena dengan pernikahan itu, pastilah aku dapat menemukan surga yang selama ini kucari di tengah nasib kurang menguntungkan keluarga besarku.
Ternyata apa yang kuimpikan dari Galan jauh dari harapan. Sebagai pria yang kukenal romantis dan penuh perhatian, ternyata menurut pandangan mata idealisku tak lebih dari sekadar anak ingusan yang selalu menurut apa yang dikatakan orang tuanya. Hampir setiap saat tak ada tersisa sedikit celah pun kesempatan untuk membagi kesenangan bersamaku. Setiap apa yang aku inginkan selalu ditempatkan oleh Galan sebagai nomor prioritas ke sekian di bawah keinginan bapak dan ibunya. Sungguh hal itu yang membuatku kerap dongkol dan marah kepadanya. Aku ini istrinya, yang mestinya mendapat porsi perhatian lebih banyak dari siapa pun.
Suara terdalam kalbuku selalu membelaku, "Wajarlah kau lakukan itu. Toh, dulu semasa tiga tahun pacaran Galan selalu bisa memberimu yang terbaik. Termasuk segala sesuatu yang sesungguhnya tak pernah terpikirkan olehmu akan dia kerjakan untukmu."
"Lalu, apakah aku berdosa bila harus meninggalkannya sendirian seperti sekarang?"
"Impas sudah…"
"Maksudmu…?!"
"Gak apalah untuk memberi sedikit pelajaran baginya."
Pergolakan batin dalam diriku terus berlangsung. Antara rasa berdosa meninggalkan suami tanpa pamit dan pelampiasan puncak kekesalanku terhadapnya, silih berganti menawarkan cacian dan dukungan.

AKU meninggalkan rumah ketika Galan sibuk menyelesaikan pekerjaannya. Niat bulatku pergi tanpa pamit ini dengan harapan Galan terbuka pikirannya, bahwa aku ini istrinya yang selalu kesepian ditinggal di rumah sendirian. Sementara ketika pulang, dia masih akan melanjutkan pekerjaan kantornya dengan berkutat di depan komputer dan baru menuju peraduan bila sudah tersisa sedikit daya.
Meskipun dalam urusan materi dan seks aku tak perna dikecewakan, namun aku masih menuntut satu hal yang selama ini kurang, yaitu perhatian. Menurutku, perhatian Galan selalu diutamakan untuk dua hal, kalau bukan untuk meributkan orang tuanya yang ngebet punya cucu, ya pasti mengerjakan pe-er kantornya yang tak pernah selesai.
Sikap cuek Galan yang bertolak belakang dengan sifat aslinya itu menurutku juga akibat desakan orang tuanya yang selalu menanyakan kapan bisa mendapatkan momongan. Padahal jauh sebelum menikah dulu, Galan dan aku telah bersepakata untuk menunda punya anak dulu agar bisa menikmati masa bulan madu yang panjang. Sementara aku sendiri selalu merasa menjadi korbannya.
"Aku tetap selalu menomorsatukanmu." Begitulah janjinya setiap kali sempat terjadi ketegangan kecil antara aku dan Galan. Dia memang mahal bicara. Kecenderungan untuk diam dalam menghadapi persoalan juga kadang membuatku sebal. Galan itu memang kebalikan dari aku yang segala sesuatunya harus gamblang dan langsung ke akar permasalahan.
Galan juga selalu mendahulukan kata maafnya di depan kalimatnya padaku, mesti bukan selatah Pok Minah di Bajai Bajuri. Tetapi justru karena itulah aku kerap lemah dalam bersikap terhadapnya. Cenderung aku memberi toleransi atas semua kesalahan-kesalahannya, karena memang dia tak pernah memarahiku apalagi sampai membentak dengan kasar. Aku justru kalah oleh perasaanku sendiri dalam bersikap terhadap dia.

DI tempat pelarianku, di rumah salah seorang teman kuliah dulu, aku mencoba melupakan perihnya hati cemburu. Guratan-guratan hari yang selalu menjengkelkan perlahan kuusap dengan perenungan. Untuk itu, begitu aku datang ke di rumah Yati, yang ternyata sudah memiliki dua orang anak, sempat membuyarkan keinginanku. Namun karena sudah lama tidak bersua dengan sahabat karib dan teman sekosan semasa kuliah itu, aku coba tahan keinginanku balik ke rumah. Aku pun beralasan kepada Yati, bahwa Galan sedang ke luar kota, sehingga aku bisa dolan barang sesaat di rumahnya.
Sejam dua jam aku tahan segenap gemuruh dada agar jangan sepatah kata pun terungkap bahwa aku tengah melarikan diri dari rumah suamiku. Aku tak ingin mengganggu kebahagiaan Yati bersama keluarganya oleh kekonyolanku yang ingin menang sendiri atas Galan dan keluarganya. Sungguh aku merasa berjiwa kerdil di hadap kesederhanaan Yati dalam menyikapi hidupnya.
Pada selisih waktu antara pukul 13.45-an aku masih bersandar sembari memeluk erat kedua lututku di atas sofa ruang tamu rumah Yati. Lima belas menit lagi pasti handphoneku berdering. Sebab, itulah kebiasaan Galan ketika makan siang. Tidak peduli sedang di kantor, di luar kota atau di mana saja dia selalu menelepon aku untuk memberitahukan menu apa yang tengah dia santap sebelum kemudian berbalik bertanya, aku makan apa hari ini.
Aku masih termangu. Seolah tengah menanti deadline, aku pun tak lepas memerhatikan bilangan angka dalam jam tembok yang secara kontinyu diputari tiga jarum berukuran tidak sama, tetapi selalu memiliki kesatuan dalam tujuan. Gambaran putaran jam di dalam tempurung otakku terus merangsak menuju titik angka 2. dan begitu tiga jarum jam serentak melintasi angka genap itu, seakan sudah di-timer, hangphoneku pun bergetar dengan ringtone favorit Bougenville menyalak menandakan tanda panggilan dari Galan.
Seakan sudah refleks, aku pun bergegas mengangkat dan menjawab sapanya. Seperti biasanya, dia memberitahuku tentang menu apa yang sedang dia santap, makan di kantin mana, bersama siapa, dan ditutup dengan, “Kamu makan apa hari ini…”
Begitu selesai mendengar balasan jawaban dariku, Galan pun menutup telepon selulernya. Sedangkan aku masih tertegun serta berpikir, apa yang semestinya aku lakukan berikutnya. Haruskah aku kembali ke rumah. Atau mencoba bertahan beberapa waktu lagi sampai Galan mengetahui ketidakberadaanku di rumah?

WAKTU bergulir mengusung perubahan yang tidak pernah permanen. Seolah mewakili hatiku yang tak pernah menemukan pijakan pasti, aku menemukan jawaban tersendiri dari setiap keragu-raguanku terhadap Galan. Rupanya benar apa yang dikatakan oleh Yati ketika aku meminta pendapatnya tentang bagaimana harusnya seorang istri menyikapi kesibukan suaminya. Dikatakan Yuli, bahwa sesungguhnya suami adalah belahan jiwa dari setiap istrinya. Mereka memiliki sisi hati yang kadang sulit diterjemahkan, tetapi menyimpan lebih dari segudang kasih sayang yang justru tak bisa terbantahkan.
Usai merenungi apa yang dikatakan Yati itu, aku pun beringsut melepas lamunan panjangku. Bergegas kemudian aku pamitan kepada Yati untuk pulang.
“Trims ya atas tumpangannya…”
“Kok tergesa-gesa sih? Kan lama nggak ketemu. Aku masih kangen, lho…”
“Maaf. Aku tak boleh mengganggumu lama-lama. Nanti papanya Ogy-Olga marah sama kamu. Lagian aku sudah janjian dengan Mas Galan.”
“Janjian di mana? Kenapa kok nggak disuruh mampir sekalian untuk makan siang di sini.”
“Tidak usah. Aku jadi tak enak ngerepoti kamu.”
“Nggak papa… Ditunggu dimana, sih.”
“Itu, Mas Galan siang ini nunggu aku di Klinik dr Suryanto, sekalian untuk ambil tes kehamilanku.”
“Oalaaa… Kamu hamil toh. Selamat ya… gitu kok pake dirahsiakan segala.”
“Tidak juga. Hanya aku masih khawatir belum positif. Sebab, kemarin lusa aku pake tester hasilnya positif, terus Mas Galan menawariku untuk tes kehamilan beneran di dokter Suryanto.”
“Kalo gitu hati-hati. Jangan sampe yang nggak-nggak!”
“Oke. Trims, lho, Yat.”
Aku segera berpelukan menyambung rindu yang barangkali masih akan kami lewati lagi di lain waktu. Dengan menggunakan taksi, aku pulang menuju rumah Galan dengan dada terbuka. Dalam hatiku aku bersyukur kepada-Nya, karena segera ditemukan jawaban atas keraguanku selama ini. Aku juga berterima kasih atas petunjuknya yang membukakan sebagian pikiranku yang selama ini tertutup tentang sisi hati seorang suami. (abu alif)