Nasi bebek (nasbek) boleh saja dipredikatkan sebagai makanan khas Surabaya. Namun, nasbek bukanlah satu-satunya makanan khas kota Buaya ini. Selain Nasbek dan lontong balap, Surabaya juga punya pusaka kuliner bernama pecel semanggi.

BILA menjejakkan kaki di kota Pahlawan, mungkin yang sering Anda jumpai adalah makanan bernama soto ayam, rawon, pecel, nasbek, atau makanan aneka sambal. Bukan hanya sekelas pedagang kaki lima saja yang menjajakan, warung atau restoran sekalipun nyaris tidak kelewatan menjajakan ragam makanan di atas.

Tapi bila yang ditanyakan tentang pecel semanggi, maka siap-siaplah mendapat jawaban susah untuk mencarinya. Ya, mencari pecel semanggi tidak semudah membalikkan telapak tangan, atau membandingkan dengan rentetan makanan lainnya, meski nama makanan pecel semanggi cukup kesohor di kota ini. Bahkan bisa dikatakan sebagai ikon Surabaya juga.
Jika dirunut dari sejarahnya, pecel semanggi tidak hanya khas di Surabaya saja. Setidaknya nama pecel semanggi sudah mewakili skala provinsi untuk urusan jenis makanan khas. Pecel semanggi bukan hanya milik Surabaya, tapi sudah menjadi ikon kuliner Jawa Timur.
Sayang, nama besar pecel semanggi rupanya tidak sebanding dengan keberadaannya. Bila ada pepatah menyebut ‘sulitnya mencari jarum dalam tumpukan jerami’, mungkin saja pas dengan memburu pecel semanggi di kota buaya ini. Jangankan untuk mendatangi sebuah restoran atau depot, mencarinya di penjual kaki lima pun juga sulitnya minta ampun.
Penjual pecel semanggi mayoritas menjajakan dagangannya dengan cara berkeliling antar-kampung. Jarang sekali dari mereka menyediakan stan khusus atau semacam warung untuk menggelar dagangan. Di Surabaya, mayoritas penjual pecel semanggi berasal dari kawasan Benowo (daerah Manukan). Pedagangnya kebanyakan wanita paro baya ke atas. Mereka menjajakan semanggi ke seluruh pelosok kota Surabaya dengan menggunakan gendongan di punggung dan berjalan kaki.

Ganti Sendok dengan Krupuk
Bagi yang belum pernah menyantapnya, maka jangan merasa heran ketika melihat makanan khas yang satu ini. Meski modelnya tidak jauh beda dengan makanan berbumbu pecel dan sambal-sambalan, namun tampilan semanggi cukup mengundang perhatian. “Penampilan semanggi memang ya begitu itu, terlihat sederhana. Tapi jangan ditanya rasanya,” kata Arni.
Secara fisik, tampilan pecel semanggi memang tidak eye catching mengingat pecel semanggi hanya dibuat dari bahan daun semanggi yang dikukus dan kemudian dinikmati dengan sambal mirip bumbu pecel. Semanggi kerap dihidangkan bersama sayur-mayur lain berupa kecambah dan kangkung.
Sebagai pelengkapnya, penyajiannya dipadu dengan kerupuk gendar-orang Jawa atau Surabaya biasa menyebut kerupuk puli-yang terbuat dari bahan dasar beras yang ditumbuk hingga halus. Untuk urusan bumbu, pecel semanggi biasa menggunakan bumbu yang berbahan dasar ketela rambat bukan dari kacang tanah laiknya bumbu pecel, tapi tetap saja terasa pedas dan nikmat.
Ada beberapa versi sambal untuk pecel semanggi, di Surabaya bumbu semanggi menggunakan sambal yang dibuat dari singkong, gula jawa, terasi, petis udang, dan cabai. Sementara di Banyuwangi sambal semanggi dibuat dari cabai, serai, belimbing dan sedikit gula jawa.
Dalam pola penyajiannya, daun semanggi yang dikukus itu ditempatkan di sebuah pincuk daun pisang. Pola makannya pun beda, bila umum bersantap dengan sendok dan garpu, maka cara makan semanggi hanya menggunakan perantara kerupuk puli (uli/gendar) berukuran besar itu sebagai pengganti sendok.

Warung, No! Resto, Yes!
Bagi sebagian orang Surabaya, pecel semanggi adalah makanan yang ngangeni. Selain susah untuk membelinya, panganan ini mempunyai rasa dedaunan yang khas. Kalau sedang beruntung, mungkin siapa saja bisa menjumpai pedagang yang rata-rata wanita berusia uzur itu di pinggir jalan atau sudut gang.
Kebanyakan mereka menjajakan dagangannya dari pagi hingga siang, jarang sekali penjual pecel semanggi ditemui pada sore apalagi malam hari. Bila tidak beruntung, penikmat semanggi bisa mendatangi kawasan Jl. Bintoro atau pujasera Kartika di Jl. Diponegoro. Di situ, pengunjung bisa menemui penjaja semanggi yang berjualan sampai malam setiap hari.
Tapi, penjual di kawasan itu bukanlah penjaja semanggi keliling, melainkan penjual semanggi kelas resto. Harganya memang tidak sama, bila penjual pecel semanggi keliling mematok harga Rp.3.000 per pincuk, maka di kawasan pujasera itu dijual Rp.8.000 per pincuknya. Hampir dua kali lipatnya.
Walaupun lebih mahal, urusan rasa tidak kalah dengan pedagang lain. Misalnya saja Semanggi TOP Surabaya yang mendiami pujasera Kartika itu sudah cukup punya nama di Surabaya. Alasannya, Ibu Lima sang pemilik stan semanggi tersebut sudah berpengalaman dalam meracik makanan ini.
“Sekarang ini sudah dua generasi. Ibu saya (Ibu Lima) itu sudah 17 tahun berjualan semanggi, dan kini sedang saya teruskan usahanya. Tapi resep bumbu yang saya pakai sekarang ini tidak ada bedanya dengan yang lama,” kata Arni ketika ditanya di sela-sela aktivitasnya sebagai peserta di Festival Jajanan Bango 2008 lalu di Surabaya. (*