Hampir sepuluh tahun terakhir aku selalu merayakan tahun baru, tiga kali dalam setahun. Kok bisa? Ya tentu. Selain pergantian tahun masehi yang lazim dirayakan setiap malam 31 Desember, saya juga turut merayakan Tahun Baru Hijriyah setiap 1 Muharram, serta satu lagi yaitu Tahun Baru Imlek yang biasa dirayakan masyarakat Tionghoa.

Meski perayaan Imlek baru bisa dirayakan dengan bebas penuh kemeriahan di negeri ini sejak pemerintahan Gus Dur (Presiden KH Abdurrahman Wahid), namun secara budaya, aku sudah memahami betapa agungnya perayaan Imlek. Walaupun aku seorang Jawa -muslim, namun semangat keberagaman begitu aku nikmati. Apalagi setelah tahun 2004 setiap Imlek dijadikan hari libur nasional, tentu semakin berasa makna Imlek sebagai hari besar yang diakui di negeri ini.

Keakrabanku dengan nuansa Imlek tak lepas dari pekerjaan harian yang banyak berkutat dengan sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat Tionghoa. Pimpinan, kawan, dan rekan sekantor awalnya banyak dari mereka yang warga keturunan itu pada mulanya juga sempat membuatku merasa kurang nyaman. Namun karena kita bekerja profesional lama kelamaan akhirnya juga mampu meleburkanku kepada kebiasaan mereka, meski sebagian dari mereka ada juga yang tetap menjaga jarak dengan orang sepertiku yang bukan dari kalangannya. Tak masalah. Itu urusan mereka.

Kegiatan Imlek yang kebetulan sepuluh tahun terakhir ini hadirnya tak jauh akhir maupun awal tahun Masehi, turut menanamkan rasa tersendiri dalam kehidupan kantorku. Moment Imlek bahkan kerap dijadikan sebagai wahana saling mendekatkan diri antarkaryawan dengan menyelenggarakan acara semacam family gathering. Biasanya kantor menyewa sebuah restaurant untuk acara makan bersama dengan selingan pembagian angpau atau kado kejutan. Walau sebenarnya kini kebanyakan karyawan kantorku adalah orang-orang berkulit sawo matang (pribumi) sepertiku, namun tetap saja ada rasa emosional dengan keberadaan Imlek. Mungkin itu bisa terjadi karena selama ini telah terjadi rasa saling memahami dan menghormati budaya masing-masing. Hal itu biasa kami lakukan saat perayaan hari raya seperti Imlek dengan saling mengucapkan Gong Xi Fa Cai, yang aku sendiri tak pernah tahu apa artinya, atau ketika Idul Fitri kita sesame rekan sekantor saling menghaturkan Minal Aidin wal Faizin dalam halal bihalal perusahaan.

Kini, Imlek sepertinya sudah dimiliki oleh negeri ini setelah sekian puluh tahun sempat terpejara karena dianggap sebagai budaya negatif. Imlek tak ubahnya perayaan 1 Syuro (Tahun Baru Islam, 1 Muharram) yang diperingati oleh Umat Islam, khususnya oleh masyarakat Jawa. Keberadaannya merupakan gabungan dari ajaran budaya dan keagamaan yang melebur sebagai aktivitas masyarakat yang benar-benar adi luhung.

Imlek sendiri merupakan spirit mawas diri bagi siapa pun yang akan menghadapi tantangan masa depan secara lantang. Mungkin karena itu pula, di setiap pergantian tahun China selalu akrab juga dengan adanya perhitungan peruntungan berdasar kalender (Lunar) dengan pengaruh keduabelas shio yang dipercai dapat dikendalikan melalui perhitungan fengshui sesuai tradisi nenek moyang masyarakat Tionghoa.

Akhirnya, semoga di tahun Imlek 2563 yang bertepatan dengan Tahun Naga Air ini, kita semua mampu melakukan yang terbaik untuk kemaslahatan segenap umat manusia. Gong xi fa cai… (arohman)