Ngaji kitab gundul, begitulah istilah yang biasa kami gunakan dalam mengikuti pengajian kitab kuning. Dinamakan kitab kuning karena memang kertas yang digunakan mencetak kitab tersebut berwarna kuning. Adapun isi kitab kuningnya menggunakan bahasa Arab gundul karena tanpa harokat (tanda baca), sehingga akrab dinamakan kitab gundul.

Dalam ngaji kitab gundul ini diperlukan kemampuan khusus. Setidaknya penguasaan dasar bahasa Arab seperti Nahwu-Shorof harus dimiliki. Dalam mengajinya, biasanya pak ustadz membaca kitab kuningnya kemudian menyampaikan makna atau artinya, sambil menerangkan kandungan kalimat-kalimat penting maupun tafsir dari ayat maupun hadis yang terdapat dalam bacaannya. Sementara, para santri menyimak dengan seksama apa yang disampaikan pak ustadz sambil memberi arti pada setiap kalimat yang mereka rasa belum dipahami menggunakan pen tutul.

Suatu ketika aku turut Kang Abu ngaji di ndalem (kediaman kyai sepuh). Biasanya kitab yang dikaji merupakan kitab-kitab kakap seperti Tafsir Jalalen, Jami’ul Bayan, dan lain-lain. Ngajinya biasanya ba’dah subuh sampai menjelang waktu dhuha. Yang mengikuti pengajian rata-rata para guru yang biasanya mengajar kami di sekolah. Juga para imam rawatib dari musalah desa-desa tetangga. Kata Kang Abu, yang ngaji di ndalem itu santrinya sudah tua-tua (berumur), karena memang yang diajarkan adalah ilmu tafsir Alquran yang tidak sembarangan orang mampu menguasainya.

Dari sekian puluh orang yang mengikuti pengajian pagi itu, yang terlihat masih ‘belum cukup umur’ hanyalah aku dan Kang Abu. Oleh karenanya, kami berdua tidak berani masuk ke dalam ruang tamu ndalam, melainkan hanya bersandar di sisi pintu sebelah luar, di atas gelaran sandal dan kelompen para santri sepuh.
Yang menyampaikan pengajian adalah pemangku pesantren langsung, yaitu KH Ahmad Muhammad Alhammad atau biasa dipanggil Mbah Mad Tumpuk. Beliau adalah salah satu penerus dari para muassis Pondok Pesantren Qomaruddin di Sampurnan Bungah Gresik,  seperti almarhum Mbah Sholeh Tsani.

Kang Abu memang tekun dalam mengikuti setiap pengajian. Tidak seperti aku yang memenuhi kitab kuningku dengan jenggot –istilah untuk kitab kuning yang banyak diberi makna atau arti di bagian bawah setiap kalimatnya, Kang Abu malah cukup memberikan tanda-tanda khusus seperti kode-kode dengan huruf tertentu pada setiap kalimat yang dia tidak pahami saja. Itu artinya, bahasa Arab kang Abu sudah jauh di atasku, sehingga mampu mengenali bacaan kitab gundul yang disampaikan oleh setiap ustadznya. Kang Abu pun pasti bisa membaca dan memaknai kitabnya sendiri.

Banyak sekali faedah mengikuti pengajian-pengajian bersama Kang Abu. Meskipun istilahnya hanya amul atau ikut-ikutan, sampai sekarang saya masih merasakan manfaat tetesan-tetesan ilmu yang hanya kudapati saat Ramadan bersama Kang Abu itu. Beruntung sekali aku punya teman seperti Kang Abu, yang telah memberi banyak warna pada masa-masa Ramadan waktu kecil dulu. Dan, sepertinya juga tidak banyak anak seberuntung aku yang dapat turut ngaji kemana-mana, mengekor di belakang punggung Kang Abu, turut membonceng di sepeda jengki biru kesukaannya, yang sekaligus sebagai satu-satunya kendaraan tercepat zaman itu untuk dapat menjangkau tempat-tempat ngaji favorit kami. “Ya Allah… berikan kami ilmu yang bermanfaat. Amin…” (roy/bersambung)