Kang Abu memiliki banyak kawan di pesantren. Aku juga banyak kenal dan menjadi teman baik dari kawan-kawannya itu juga. Keseharian Kang Abu juga sangat sederhana. Maklum, sebagai anak pesantren dia memang serba pas-pasan juga.

Pakaian harian yang dia miliki juga hanya beberapa potong, terdiri atas beberapa lembar kain sarung plekat, dan yang terbaik adalah sarung merek Cap Manggis. Bajunya pun tidak terlalu banyak, dan kebanyakan model baju koko dari kain hero puti polos. Yang terkesan mewah dan selalu membuatnya bangga adalah songkok yang selalu dikenakannya. Songkok hitam berbahan bludru bermerek Cap Pendopo produksi H. Munawar Bungah. Kang Abu selalu tampak tampan bila mengenakannya, apalagi bila menuju masjid lengkap dengan surban hijau kesukannya.

Kebiasaannya mengenakan songkok hitam itu sudah dilakoninya semenjak setahun nyantri di pesantrennya. Katanya dia ingin tampil seperti Kiai Maimun Adnan yang begitu elegan. KH Maimun Adnan atau biasa kami panggil dengan Yai Mun adalah salah satu ustadz di sekolah kami. Beliau berasal dari pesantren Al-Islah di luar kompleks yayasan tempat kami sekolah. Selain sebagai guru, beliau juga anggota legislatif daerah tingkat 2 di kabupaten Gresik dari parpol Islam era Orde Baru.

Kang Abu sangat mengagumi Yai Mun. Ketegasan dan wibawa sang kiai begitu merasuk dalam hati dan jiwanya, sehingga gaya dan penampilannya dicoba bisa dimiripkan. Salah satunya ya kebiasaan bersongkok hitam dengan bagian ujung depan dilancipkan, sehingga bentuknya seperti moncong perahu.

Yai Mun memang membiasakan kepada setiap santri dan muridnya agar senantiasa menggunakan songkok untuk menutup rambut kepala, terutama sewaktu salat. Sebab, menurut beliau kekhusyukan salat kurang sempurna bila sewaktu sujud masih terdapat helai rambut yang menghalangi jidat menyentuh permukaan bidang sujud seseorang. Bahkan di kalangan santri dan masyarakat sekitar, anjuran berkopyah atau mengenakan songkok tersebut serasa hukumnya wajib. Maka tak heran bila ada yang salat berjamaah di masjid tapi tidak mengenakan songkok, bisa ditebak, pasti itu bukanlah warga sekitar. Karena masyarakat setempat amat memegang teguh petuah sang kiai.

Di samping itu Kang Abu juga tak pernah lupa membawa kayu siwak. Kayu siwak fungsinya sebagai pembersih gigi sebelum salat. Terbuat dari ranting pohon siwak yang katanya diimpor dari Timur Tengah. Kayunya berwarna putih kekuningan padat dan keras. Batang-batang siwak bisanya didapat Kang Abu dari membeli di toko Zainul di sebelah timur pesantren. Siwak dijual dalam bentuk batangan seukuran jari manis atau yang sedikit lebih besar. Sebelum digunakan, batang siwak ujungnya diketok menggunakan benda keras hingga bentuknya berubah menjadi serabut. Dan serabut lembut inilah yang kemudian digosokkan ke mulut (gigi dan gusi) bak sikat gigi. Kang Abu menggunakan siwak setiap menjelang salat karena hal itu diyakini sebagai sunnah rasul yang baik untuk diamalkan dan menyehatkan. (roy/bersambung)