Gerimis lembut yang luruh dari angkasa membuat kantukku sepanjang perjalanan tergugah begitu saja. Tak terasa ternyata sudah tiba di kawasan kampus Unesa Ketintang. Suasananya begitu berbeda. Tampilan gerbangnya menampakkan nuansa lain dari biasanya. Walau pun terdapat banyak serakan bahan bangunan di sana-sini yang menandakan bahwa masih sedang dilakukan pembangunan, namun nuansa keindahan itu sudah tampak. Sepertinya, bila sudah selesai pembangunannya nanti pasti semakin cantik untuk dinikmati.

Di depan pintu gerbang sebelah kanan masih tetap setia; deretan Kopma, Kantor pos, dan mini swalayan, serta markas besar Menwa. Hampir sama seperti 18 tahun silam ketika untuk kali pertama menginjakkan kaki di bumi kampus Ketintang. Hanya saja, dulu terdapat kantor BNI di sana.

Sedikit belok ke kanan dari pertigaan gerbang itu, masih bertahan di sana sebuah warung kenamaan dari masa ke masa, yaitu warung Pak Paidi. Tempat dan tampilannya pun tak berubah. Nah, entah kenapa kok tiba-tiba saja tadi sangat kepingin mampir. Kangen rawone Pak Paidi, hehehe…

Suasananya tak begitu ramai, mungkin sudah jam pulang kuliah, jadi hanya ada dua orang mahasiswa berjilbab yang tampak serius membicarakan beasiswa yang akan mereka dapat sambil mengacak-acak makanan dalam piringnya. Sepertinya mereka tak selera makan. Di sebelahnya tampak bapak-bapak sedang asyik menikmati sayur asem dengan begitu lahapnya. Kontradiktif sekali, gumamku dalam hati.

Aku langsung ke bagian dapur memesan rawon. Sepertinya yang meracikkan adalah putri Pak Paidi. Wajahnya sangat familier, walau aku tak mengenalnya. Hehehe… Begitu pula si embak, agaknya dia juga menyimpan tanya dalam pandangnya; antara kenal dan tidak denganku. Kok ge-er sendiri …? Aku menebak saja begitu, karena memang semasa awal-awal menikah

Sambil menarik sebuah kursi bulat aku memilih tempat yang nyaman membelakangi pintu. Kuletekkan tas dan kutarik sebungkus kerupuk pelastikan. Kunikmati gurih dan renyahnya kerupuk itu sembari menanti rawon pesananku diantar. Tak lama kemudian diantarlah seporsi rawon dalam piring lengkap dengan nasi. Kuahnya ngecembeng berwarna pekat menandakan murah bumbu. Di atasnya terdapat irisan daging empal tipis melebar dan dilengkapi pula dengan taoge pendek dan serpihan bawang goreng, sehingga langsung mengundangku untuk mencobanya.

Cecapan dari sendokan pertama mencitrakan rasa rawon legendaris racikan warisan Pak Paidi tak berubah. Rasa keluwek, kemiri, bawang putih, bawang merah menyatu jadi satu dengan harumnya daun jeruk dan serai. Jauh dari kesan pedas, meski disertakan cabai di dalamnya. Justru rasanya sedikit manis- asem dari asam jawanya. Mungkin inilah yang membuat rawon Pak Paidi ngangeni.

Seporsi rawon itu kulahap penuh penjiwaan sendok demi sendok. Sesekali kucampurkan sambal yang disertakan di atasnya agar semakin berasa nikmat. Panas dan pedasnya pun akhirnya mengundang bulir demi bulir keringat sehingga membuat makan siang ini menjadi kian nikmat luar biasa. Keringat makin gobyos ketika kuseruput teh manis hangat sebagai pamungkasnya. Lengkap sudah nikmatnya menu rawon Pak Paidi kali ini. Alhamdulillah, dengan Rp. 13.000,- dapat kunikmati dan kutuntaskan rinduku pada rawone Paidi. (arohman)