Ramadan sudah berlalu tiga hari. Ingatan saya langsung terlontar jauh semasa madrasah Ibtidaiyah (SD). Jauh di pedesaan sana, saya telah melewatinya dengan banyak catatan istimewa. Suka-duka berpuasa bersama teman-teman sepantaran di kampung halaman maupun kawan-kawan sekelas di sekolah yang berasal dari banyak daerah. Maklum, sekolah saya di bawah naungan sebuah ponpes tersohor.
Di kampung halaman sebenarnya rutinitas harian tidak ada yang beda, yang membedakan hanyalah malam hari harus salat tarawih dan mengikuti tadarrus di langgar. Pengalaman-pengalaman unik juga kerap terjadi pada bulan Ramadan itu, misalnya pengalaman pertama ngaji atau membaca Alquran di hadapan microphon.
Dahulu, hanya anak-anak yang sudah khatam Alquran yang diizinkan ngajinya disuarakan langsung ke speaker. Dan, itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi si anak dan orang tuanya, karena dinilai sudah bisa ngaji. Kebetulan ketika Ramadan itu saya termasuk yang sudah khatam sehingga mendapat kesempatan bisa bersenandung menyuarakan ayat-ayat-Nya dengan benar dan merdu di mic.
Tadarus di langgar kami dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok setiap malam harus menyelesaikan 5 juz. Tidak semua kelompok ngaji tersebut yang ‘disiarkan’ langsung ke speaker dan membahana ke segala penjuru kampung, melainkan hanya kelompok dewasa, yaitu kelompok yang melingkar di belakangan pangimaman atau mihrab.
Di kelompok pangimaman itulah aku pertama kali menyuarakan lantunan ayat suci Alquran menggunakan speaker. Di samping perasaan bangga, perasaan grogi dan takut salah baca campur aduk jadi satu dan terkumpul menjadi keringat dingin. Maklum, di kelompok itu yang nyemak atau memperhatikan bacaan adalah para guru ngaji kami. Jadi, meskipun sudah setiap petang belajar membaca Alquran sesuai dengan tajwid dan makhorijul khuruf-nya serta lagu yang mendayu, begitu menghadap mic langsung kabur semua, dan akhirnya membacanya grathul-gratul atau tak bisa selancar yang dibayangkan.
Bila mengingat hal itu, saya jadi bangga terhadap para guru ngaji masa kecil dulu. Mereka tanpa pamrih setiap usai maghrib membelajari kami ngaji, mengenalkan huruf-huruf hijaiyah dan bacaannya sampai akhirnya saya dan teman-teman bisa membaca Alquran. Wak Kasun (almarhum) adalah guru ngaji pertama saya di langgar. Beliau merupakan imam rawatib di langgar lanang. Sehari-hari beliau bekerja sebagai petani di sepetak kecil sawahnya dan nyambi sebagai tukang pangkas rambut setiap Pasaran Legi di sebelah pertigaan lapangan desa. Setiap malam usai salat Maghrib, hampir semua anak-anak di desa kami berkumpul di belakang pangimaman untuk belajar ngaji kepadanya. Ngaji dilakukan setiap hari Sabtu sampai Selasa, hari Rabu diisi Fashalatan atau belajar salat dan bacaan-bacaannya serta amalan lainnya, sedangkan hari Kamis diisi dengan Dibaan atau membaca berjanji atau geladen (belajar) seni hadrah. Sebagai bentuk imbalan atas kebaikannya yang tak ternilai tersebut, biasanya kami dan para keluarga kami yang pernah belajar ngaji kepada beliau, setiap malam lebaran mebayarkan zakat fitrah kepada Wak Kasun. Karena menurut pandangan warga, beliau termasuk mustakhiq karena berjuang di jalan Allah.
Kini, setiap malam-malam Ramadan aku selalu berusaha mengisinya dengan membaca Alquran dengan harapan mampu mengkhatamkan-nya menjelang lebaran nanti. Dan di bulan suci Ramadan ini, tak lupa juga aku memohonkan ampunan dosa untuk almahum ayah saya, yang dahulu setiap malam lantunan ngajinya selalu membangunkanku menjelang sahur. Semoga segala bimbingan-bimbingannya kepada saya dulu menjadi bagian dari tiga amal yang tak terputus pahalanya, antara lain termasuk ilmu yang bermanfaat dan doa anak yang sholeh. “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang sholeh” (HR. Muslim). Amin…