Menjalankan puasa bagi anak (seusia saya), 30 tahun silam tantangan tidak seberat sekarang ini. Kehidupan desa yang permai dengan tingkat polusi yang masing rendah, serta minimnya pengaruh dunia hiburan tentu sangat membantu saya dan teman-teman sepantaran menghabiskan bulan Ramadan dengan nyaman. Tak salah bila kami selalu merindukannya. Perubahan kebiasaan ngaji di langgar bersama Wak Kasun yang digeser dari waktu usai salah maghrib ke ba’dah subuh juga tak merisaukan kami. Bahkan, kami merasa lebih senang ngaji pagi hari, karena setelah itu bisa bermain dakon ramai-ramai di teras rumah Nyai Jaiyah, yang rumahnya persis di sebelah pintu langgar.
Permainan-permainan masa itu benar-benar ramah dengan usia kami. Kalau tidak dakon, ya benthikan (patelele), koprolan, sodoran, bentengan, deblekan, boy-boyan, umbul, catur, dan khusus Ramadan ada tambahan main mercon bumbung.
Beda halnya dengan saat ini, yang hampir semua anak telah mengenyam kehidupan modern serba otomatis dengan waktu yang terprogram pula ala kehidupan orang dewasa. Gangguan puasa –khususnya yang dapat mengurangi pahala puasa– tentu lebih berat dan menantang lagi bagi anak-anak masa kini, apalagi bagi para anak kota. Gangguan yang utama bagi anak sekarang adalah televisi dan video game.
Bila pada masa kecil saya dan teman-teman sepantara dulu hanya menghabiskan waktu beberapa jam saja sesuai kadar kekuatan tenaga kami bermain, tapi anak sekarang bisa seharian penuh menonton teve atau bermain game karena mereka hanya duduk dan asyik dengan jemari dan bola matanya tanpa aktivitas fisik berarti. Tentu ini perbedaan signifikan yang akan berpangaruh banyak pada jiwa seseorang (baca: anak) nantinya.
Waktu bagi kami pada dunia kecil saya dan teman sepantaran sangatlah berharga. Meski tanpa program tercatat, namun semua berjalan alamiah dilandasi kesadaran diri masing-masing untuk menunaikannya penuh tanggung jawab. Sungguh luar biasa para orang tua kami masa itu, mampu menanamkan pendidikan pekerti yang mahadahsyat, sehingga kami dengan mudahnya menurut apa yang mereka inginkan sesuai tataran kehidupan masyarat setempat.
Sekali lagi, waktu bagi saya dan teman sepantaran zaman itu sangat berharga. Dan, hal itu semakin terasa sekarang ini, setelah malampauinya puluhan tahun berselang. Sepertinya semua ajaran-ajaran orang tua dan guru-guru kami untuk tidak menyia-nyiakan waktu betul-betul membekas di hati. Apalagi jika merenungkannya kembali ketika mendengar lantunan surat Al-Ashr dalam salah satu rakaat shalat tarawih setiap malam Ramadan yang saya ikuti di masjid tak jauh dari rumah.
“1 ~ Demi masa.
2~ Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
3~ Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihati menasihati supaya menetapi kesabaran.”(QS. Al-Ashr [103]: 1-3)
Wallahu a’lam. Semoga perjalanan masa kecil saya dalam mengarungi bulan-bulan suci Ramadan bersama teman-teman sepantaran dulu tercatat sebagai amal shaleh. Dan apa saja yang kami kerjakan tidak termasuk yang sia-sia atau merugi. (25/7-arohman/bersambung)