Aku biasanya memanggilnya Kang Abu. Dia adalah teman ngaji Ramadan di desa tempat tinggal kami. Usianya mungkin tak terpaut banyak denganku, namun dia cukup disegani teman-teman sebaya karena ketekunannya dalam ngaji. Ngaji yang kami maksudkan adalah pengajian kitab kuning di kediaman para kiai sepuh maupun para ustad tersohor dan menjadi acuan masyarakat di kampung tempat tinggal kami.

Sungguh senang rasanya bila Ramadan tiba, karena selama sebulan penuh bisa turut safari ngaji bersama Kang Abu.  Meski kadang aku hanya mendengarkan saja sambil menahan kantuk, atau bahkan sampai tertidur, tapi tetap saja menyenangkan karena dapat sejenak melupakan lapar dan haus yang sebenarnya sudah tak tertahankan. Lagipula tidur dalam berpuasa kan berpahala, hehehe…

Safari ngaji biasanya kami mulai usai salat subuh. Ada banyak pilihan jadwal ngaji yang bisa dipilih oleh siapa saja yang berminat. Biasanya, pesantren tempat kami sekolah selalu mengeluarkan jadwal ngaji yang berisi tabel dengan kolom-kolom yang isinya antara lain; judul kitab, pengasuhnya, tempat pengajian, dan jamnya. Setidaknya dalam sehari kami bisa turut dalam empat kali dengan judul kitab, pengasuh, tempat, dan waktu yang berbeda. Ba’dah subuh, sebelum Dzuhur, usai Ashar, dan ba’dah isya’ adalah waktu-waktu pilihan kami untuk ngaji Ramadan.

Biasanya yang menjadi favorit adalah ngaji di masjid jami’ usai salat Ashar, karena sekalian dapat takjil dan berbuka. Yang menjadi pengasuh adalah Ustad H. Ali Musthofa. Beliau termasuk salah satu ustad senior di lingkungan pesantren meski usianya masih cukup muda, dan kebetulan pula kediamannya juga berseberangan dengan jalanan menuju masjid jami’. Sosoknya sangat bersahaja dan murah senyum, gaya penyampaiannya dalam ngaji kitab juga mudah dipahami. Sementara kitab yang diajarkan kebanyakan pengetahuan muamalah sehari-hari  seperti kitab Nashoihul Ibad, Bidayatul Hidayah, dan lain-lain. Temanya biasanya umum dan bisa diikuti oleh semua umur. Maklumlah, jam-jam jelang maghrib begitu bisanya masjid jami’ penuh oleh jamaah yang berburu takjil dan berbuka  gratis.

Untuk mengikuti ngaji, Kang Abu biasanya terlebih dulu mengajakaku membeli kitab-kitab kuning sesuai judul yang kami pilih sebelumnya. Kami membelinya di Pasar Legi, di tokonya Pak Fadlan. Di toko ini tersedia berbagai judul kitab kuning berikut peralatan untuk ngaji, seperti pena tutul. Pena tutul adalah pena yang khusus dibuat untuk memberi makna (arti) di bawah setiap kalimat bahasa Arab yang terdapat di kitab kuning saat mengaji. Pena ini ujungnya lancip terbuat dari seng –bentuknya persis seperti pena tinta cair merek Hero—hanya saja pena tutul ini tintanya terpisah. Cara menggunakannya pena harus terlebih dahulu dicelupkan atau ditutulkan ke dalam bak tinta yang berupa cupu dari bahan kuningan, baru dituliskan ke bidang kertas kita kuning. Mirip dengan proses membatik.

Kang Abu orang yang rajin, sehingga segala keperluan ngajinya selalu disiapkan dengan benar sebelum berangkat ngaji. Hal utama yang menurutnya tidak boleh lupa adalah mempersiapkan tinta. Tintanya yang dibeli di Pasar Legi hanyalah berupa tinta batangan. Bentuknya padat kotak memanjang. Tinta batangan ini harus diproses dulu hingga bisa digunakan. Pertama-tama Kang Abu mencari batang pohon pisang untuk diambil hatinya, atau bagian tengah yang kemudian dipotong-potong untuk diambil serat halusnya. Bentuk seratnya itu serupa benang-benang sutra halus. Serat tersebut dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam cupu yang kemudian difungsikan sebagai bak penampung tinta. Setelah siap, baru batang tintang digosok dengan tambahan sedikit air sehingga tetesannya meleleh encer memenuhi bidang cupu penampungan tinta. 

Saya pernah tanya kepada Kang Abu, mengapa kok tidak menggunakan kapas saja agar lebih praktis dan hemat tenaga. Kang Abu malah tersenyum. “Coba saja kamu pakai kapas, pasti nanti tintamu bau busuk.” Oh, itu rupanya rahasia Kang Abu.

Sekarang masih dilestarikan tidak ya cara-cara tradisional ngaji seperti itu? Kan cara dan teknik Kang Abu tersebut sudah kalah praktis dengan maraknya merek bolpoint masa kini yang murah-murah pula harganya.

“Jangan salah. Tintaku ini bila dibuat nulis di atas kertas, semakin lama bukannya pudar, tetapi malah semakin kontras warnanya. Kalau terkena air juga tidak akan mblobor pudar,” begitu kilah Kang Abu saat dahulu pernah saya usulkan beli bolpoint merek Pilot atau Zebra. (roy/bersambung)