ADA yang tersisa dari Ramadan Tahun ini. Kenangan buka bersama menyantap Soto Buntut di kedai Cak Agus depan Masjid Al-Akbar Surabaya. Malam ganjil, yang bertepatan dengan 27 Ramadan 1429 H juga merupakan malam reuni. Setidaknya bagi saya dan teman-teman ex-pengurus Senat FPBS IKIP Surabaya periode 1996-1997. Juga malam kangen mantan penghuni PTT IV/22.

Senyum ceria penuh bahagia seketika memencar, manakala kami berlima dipersatukan kembali oleh kesempatan di tengah padatnya rutinitas yang sangat sulit disela. Saya yang hampir tak pernah memiliki waktu jedah dari kisaran deadline ke deadline berikutnya sama persis dengan Mas Memed. Selalu full day. Maklum, saya dan dia sama-sama pekerja media. Saya di sebuah media cetak, sedangkan Mas Memed di televisi.
Sebenarnya hari itu, Mas Habe yang juga seorang jurnalis menjanjikan hadir. Namun karena pagi harinya dia baru tiba di Lamongan setelah semalaman menempuh perjalanan mudik bersama keluarganya, akhirnya dengan berat hati dia tidak jadi gabung. Dari suaranya yang tetap melengking di ujung telepon, tebersit kekecewaan luar biasa. Maklum, setahun sudah kami tidak bersua. Dan moment seperti kemarin sangatlah sulit diulang.

Tiga sahabat seperjuagan lainnya adalah Mas Mulyono. Dia alumnus Bahasa Jawa yang kini mengabdikan ‘kejawaannya’ di sebuah sekolah di Pacitan. Meskipun seminggu sekali harus Pulang Pergi Surabaya-Pacitan, namun hal tersebut tak pernah menyurutkan semangatnya sebagai guru. Sama halnya dengan Mas Mulyono adalah Mas Faruq. Dia merupakan angkatan termudah dari komunitas kami waktu itu. Tapi bicara mengenai prestasi dalam dunia pendidikan tak perlu ditanyakan. Tak heran, bila almunus Bahasa Indonesia ’95 ini kini berhasil menduduki kersi kepala sekolah MTs di daerah asalnya sana, Gresik. Nah, yang tak bisa dianggap sebelah mata adalah Cak Edy. Meski dia bukanlah alumnus FPBS, tetapi FPTK Jurusan ’setrum’ namun kesetiakawanannya begitu luar biasa. Dia menjadi komunitas kami, karena keluwesannya dalam bergaul di kompleks UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) waktu itu, yang kemudian menjalinkan kami untuk selalu bersama hingga kini. Tak mengherankan bila kemudian teman kita yang satu ini berhasil dan mampu menjadi pengusaha sukses.
Malam itu sebenarnya masih ada yang kami harapkan untuk bisa hadir bersama, yaitu Mas Yudi yang sekarang menjadi guru PNS di Mantup Lamongan, Om Catur yang aktif sebagai wartawan otomotif di Grup Gramedia, dan Kang Sugeng yang kami penasaran dimanakah rimbanya kini. Alangkah makin nikmatnya hidangan Soto Buntut malam itu, seandainya kami bisa menyatu kembali mengenang suka-duka masa di kuliah.

Sekilas tentang Soto Buntut itu...

Nah, bicara mengenai soto, malam itu kami sepakat usai salat Mahgrib langsung menikmati kelezatan Soto Buntut Cak Agus. Sebenarnya sih bukan hanya Soto Buntut, karena depot Cak Agus juga menyediakan Soto Daging, juga Soto Ati. Jadi cukuplah dijadikan alternatif pilihan bagi yang merasa ’berat’ menyantap Soto Buntut.
Makan soto pada saat perut kosong setelah seharian puasa tentu sangat nikmat. Kesegaran kuahnya yang melimpah dan berasa gurih tentu akan seketika menyuplai energi baru ke dalam tubuh. Apalagi, cabikan daging sapi yang melepuh lembut dan lumer dengan sendirinya dari potongan ruas-ruas tulang yang telah direbus seharian itu dipercaya penuh protein dan aneka zat aprodesiak pembakar gairah.
Tampilan Soto Buntut Cak Agus mirip dengan Sop Buntut pada umumnya. Namun ketika ditilik dari bahannya, sepertinya Soto Buntut Cak Agus ini tidak sepenuhnya menggunakan bahan daging buntut yang lembut namun agak kenyal itu. Akan tetapi mencampurkan juga tulang tetelan api tertentu lain seperti halnya Soto Tangkar asli Jakarta.
Kuahnya bening seperti kuah Sop Buntut dengan taburan irisan daun seladri dan bawang daun juga bawang goreng. Disajikan dalam satu mangkuk penuh, sementara nasi ditempatkan dalam piring terpisah. Untuk menyantapnya, nasi bisa dicampur langsung ke dalam mangkuk, atau kuah disendok sedikit-sedikit ke dalam piring. Aromanya makin sedap menggugah selera dengan perasan jeruk nipis ke dalam kuah sebelum menyantapnya. Sungguh, buka puasa dan reuni yang tak kan pernah telupakan.
Akhir kata, saya mengucapkan taqoballahu minna waminkum taqobal yaa karim... minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin. Sampai jumpa di buka dan reuni pada Ramadan mendatang. Semoga personalnya semakin komplet.*