Bangun pagi ini tubuh serasa segar kembali. Segelas kopi hitam membuka kegiatan, usai semalaman beristirahat. Hari ini saya rehat di Surabaya bersama istri dan Olif, anak kedua kami. Urat dan persendian yang hampir semingguan diforsir untuk lalu lalang mudik Surabaya-Jombang, Jombang-Surabaya, Surabaa-Gresik, dan Gresik-Surabaya benar-benar menguras setamina. Namun semua itu terbayar oleh kebahagiaan bisa bertemu orang tua, saudara, beserta sanak famili dan sahabat semua. Benar-benar berhari raya Idul Fitri.

Kemarin, hari ketiga lebaran, kami bertiga mengunjungi keluarga di Bungah Gresik. Di tanah perdikan tersebut, tinggal para orang tua saya. Di rumah nenek, kini menjadi tempat jujugak para cucunya, karena saudara tertua nenek juga tinggal bersebelahan rumah. Para paman dan paklik/pakde kami juga tinggal tak berjauhan, sehingga ketika lebaran seperti saat ini saudara-saudara jauh ngumpul jadi satu.

Kehadiran saya kemarin juga bersamaan dengan rombongan anak-anak dari mbah yai (kakak dari nenek). Ada tiga pasangan suami istri dan tak kurang dari delapan anak-anak mereka. Belum lagi keluarga dari anak dan cucu paklik yang turut ngumpul begitu mengetahui kehadiran kami. Wow, seru sekali.

Lebaran ini saya masih melihat wajah sendu bulik yang setahun silam ditinggal wafat paklik, suaminya, ketika menunaikan ibadah umrah Ramadan di Makkah. Kepergiannya untuk selamanya, tentu sebuah pukulan tersendiri baginya, meski anak-anaknya juga sudah separo yang menjadi orang. Berpulangnya paklik pada malam 23 Ramadan setahun silam ketika itu juga sempat mengejutkan saya. Sebab, saat menjelang berangkat beliau tampak sehat-sehat saja. Makanya, ketika adik saya pagi-pagi buta sebelum makan sahur mengabarkan meninggalnya paklik, saya langsung menyarankan untuk mengonfirmasikan kabar tersebut kepada Yuk Nik. Yuk Nik adalah kerabat saya dari Jombang yang setiap Ramadan selalu menghabiskan waktunya beribadah sebulan penuh di tanah suci. Termasuk Ramadan tahun ini.

Saat ini para orang tua kami di Gresik rata-rata tinggal kaum ibu. Bapak-bapak kami telah mendahului menghadap ke rahmatullah. Meski demikian, tak mengurangi rasa syukur kami, karena masih memiliki orang tua untuk kami sungkemi dan memohon doa restu kepadanya. Lebih dar itu, kami juga masih bisa melakukan birul walidain. Semoga Allah memanjangkan umur mereka sehingga setiap waktu, khususnya setiap lebaran seperti sekarang ini kami senantiasa bisa mengecup tangan mulianya.

Tape Ketan Buatan Ibu

Seperti lebaran maupun acara-acara keluarga lainnya, ibu selalu menyediakan panganan khas kesukaan saat saya pulang kampung, yaitu tape ketan. Tetapi, kemarin saya tak dapat langsung menikmatinya, karena tapenya belum matang. Ibu membuatnya agak terlambat, karena mengira saya baru ke rumahnya hari lebaran keempat. Tapi dasar ibu, begitu saya balik ke Surabaya, semua tape ketannya dibawakan sebagai oleh-oleh. “Ini bawa pulang semua, besok pagi sudah bisa dimakan,” ujarnya kepada istri saya.

Tape ketan buatan ibu sangat enak. Dibungkus menggunakan daun pisang kian membuat harum aromanya. Rasanya pun sangat manis.

Proses membuatnya juga sangat gampang. Biasanya ibu membuatnya dari beras ketan yang ditanak sampai matang. Setelah itu, ketan yang masih panas didinginkan dengan cara ‘diler’ atau ditempatkan melebar di atas tempaian atau lengser. Setelah dingin baru kemudian ditaburi ragi hingga merata. Setelah didiamkan beberapa saat baru kemudian dibungkusi kecil-kecil menggunakan daun pisang lalu disimpan di dalam baskom atau panci dan ditutup rapat supaya proses peragian berlangsung sempurna. Setelah disimpan selama sehari semalam, jadilah tape ketan yang manis kesukaan saya itu.

Menu-menu spesial lain kemarin juga dihidangkan untuk kami. Ada pecel bandeng, nasi bebek dan soto. Ada juga apem pasung yang biasanya dihidangkan untuk jamaah musala saat takbiran pada malam lebaran. Ini merupakan berkah tersendiri, karena mendapat hidangan yang begitu istimewa sekaligus melipur kecewa karena tak dapat menikmati Nasi Krawu “Bu Ria” yang ternyata tak buka saat lebaran. (arohman)