Tidak sedikit penulis yang memandang
sebelah mata peran editor dalam menerbitkan bukunya. Peran di balik layar ini
ternyata sangat berat, lho. Mereka (para
editor) harus berjibaku dengan menyusuri huruf demi huruf, kata per kata,
sampai dari paragraf ke paragraf berikutnya, mulai prolog sampai epilog. Tujuannya
satu, agar tidak ada kesalahan dan menjadikan buku enak dibaca sekaligus mudah
dipahami setiap penikmatnya.
Kalau hanya menangani penggunaan kaidah bahasa
yang baik dan benar, tentu tidak akan jadi masalah. Namun, yang menjadi penting
dan genting adalah penerapan logika bahasa dan mengaitkannya satu sama lain
hingga tuntasnya tulisan. Ini yang kadang memaksa seorang editor harus mengonsumi
obat pening, karena saking tidak bisa jalannya logika bahasa yang dibangun
penulis aslinya.
Masih kurang alasan mengapa tidak boleh meremehkan
editor? Tenang, masih banyak kok
hal-hal urgent yang kerap dianggap
remeh penulis. Misalnya soal pengetikan. Biasanya, penulis seolah tanpa dosa
membiarkan dan melepas tulisannya ke tangan editor tanpa dibaca ulang terlebih
dahulu. Anggapannya, membenahi salah ketik itu tugas editor. Di situlah peran
vital editor lagi.
Pernah dalam sebuah penerbitan koran di
Surabaya, para tukang montage (pra cetak) kelabakan karena menemukan judul
berita yang janggal. Mungkin sekilas tidak ada yang salah dalam hal susunan kata
dan kalimatnya. Tetapi dalam salah satu katanya bisa bermakna bersebarangan,
dan bila dibiarkan pasti akan menimbulkan dampak buruk yang luar biasa. Apa itu?
Dalam sebuah judul tersebut, ternyata ada kesalahan ketik (typo), yakni maksudnya menulis Nabi tapi salah pencet tut mesin
ketik/keyboard sehingga menjadi Babi.
Fatal bukan? Pasti fatal sekali.
Mencermati kesalahan seperti contoh kasus
terakhir, saya yang pernah mengenyam sebagai copy editor beberapa tahun di
surat kabar sempat menelisik. Apakah kejadian salah ketik Nabi menjadi Babi itu
kesengajaan atau bukan? Era itu, memang unsur-unsur yang bertentangan dalam
konteks agama sangat sensitif. Bisa juga ada kesengajaan oknum penulis/redaktur
yang membuat seakan-akan keliru ketik, sehingga umat tertentu akan terbakar emosinya
dan masyarakat bisa secara pintas mengambil diskresi dengan hukum jalanan. Tapi
untungnya praduga saya salah.
Ternyata, setelah mencermati dengan seksama
setiap berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam sebuah penerbitan
media massa, khususnya koran yang punya basis massa banyak, akhirnya terjawab
rasa penasaran saya. Alhasil, saya kemudian menyadari bahwa ternyara kasus
tersebut pure (murni) kesalah ketik. Temuan
saya mendapati letak tut mesin ketik/keyboard
huruf N dan B persis bersebelahan. Jadi sangat mungkin sekali kekeliruan itu
terjadi pada si penulis. Baik mereka yang menggunakan metode 10 jari atau 11
jari seperti saya. Hehehe…
Dari kasus Nabi keliru Babi ini, di situlah
peran penting editor. Mungkin bila Anda sudah pernah mengkuti kelas editor
MediaGuru pasti sudah memahami. Tapi bagi yang awam, perlu saya tandaskan
sekali lagi, bahwa jangan sekalipun meremehkan peran editor. Karena mereka
telah rela menjadi orang yang tak mau mengambil pamrih atas keberhasilan Anda
sebagai penulis. Buku Anda laris manis di pasaran nama dan popularitas penulislah
yang meroket, bukan editor, atau apalagi tukang layout buku Anda. Jadi, yukkk
kita belajar menghargai editor dan mengucapkan terima kasih atas peran besarnya.
Selamat menulis dan berkarya, semoga Anda
adalah salah satu penulis yang selalu dinanti editor dan para pembaca setia
kita semua.