Sekarang, ngopi sudah bagian dari kehidupan masyarakat kita (baca Indonesia).
Pokoknya istilah ngafe sudah menjadi
bagian dari keseharian. Apalagi, setiap kafe maupun warung kopi (warkop)
menyediakan wifi gratis untuk akses
internet bebas hambatan bagi pengunjung atau pelanggannya. Bahkan, tidak sedikit,
sambungan internet inilah yang menjadi tujuan ke warkop. Karena dengan hanya memesan
secangkir kopi atau nge-teh seharga 3000
- 4000 perak, pelanggan sudah berhak mengakses sambungan internet tanpa batasan
waktu (khusus bagi pelanggan ndablek, sih).
Dampak dari kehadiran wifi murmer (murah-meriah) ini tentu dilema. Sebab, secara ekonomis
pasti sangat murah bila dibandingkan harus beli paketan sendiri secara terbatas.
Rentetannya, tentu mengundang hal-hal yang barangkali tak diharapkan, yakni berupa
penyalahgunaan oleh konsumen yang tidak semestinya. Siapa itu? Anak-anak di
bawah umur yang dengan leluasa turut menikmati wifi gratis ala warkop.
Pada suatu malam, hal tidak wajar terlihat sangat
transparan. Tiga bocah laki-laki, asyik berbagi smartphone yang mereka pegang di atas bangku warkop. Di hadapannya
tampak dua gelas es teh yang sudah habis. Dugaan saya, itu merupakan minuman
yang telah mereka habiskan. Meski sudah habis, mereka masih bertahan entah
sampai berapa jam lagi. Tentu sekuat mereka betah. Apalagi mereka belum
mengenal malu, jadi pasti betah isin
(tahan malu) untuk menikmati sepuas-puasanya akses internet yang diinginkan.
Pernah juga ada seorang bapak bercerita, anaknya yang
masih kelas 1 SD minta tambahan uang saku 2000 rupiah. Ketika ditanya untuk
apa? Dengan polos sang anak menjawab, bahwa teman sepermainan di kelas minta
tambahan untuk beli es teh seharga 4000 rupiah di warkop kampung yang menyediakan
akses wifi bagi pelanggannya.
Efek buruk inilah yang masih belum menyadarkan setiap
orang tua. Akses internet bebas di warkop pastilah kurang baik bagi anak-anak. Kekhawatiran
mereka akan mengakses konten negatif patut diperhatikan. Lha kalau mereka mengakses itu semua di warkop, siapa yang akan peduli?
Sesama pelanggan pun saling asyik dengan gadget masing-masing sehingga tak
menghiraukan satu sama lain juga.
Kini, saatnya kedewasaan orang tua dituntut peran
sertanya dalam menyelamatkan anak-anak penuh harapan masa depan ini, dengan tak
lagi membebaskan mereka berburu wifi
sendirian di warkop-warkop sekitar rumah dan seputaran sekolah. Wifi di tangan
yang bertanggung jawab akan sangat bermanfaat untuk hal-hal positif, misal untuk
pembuatan konten, mengikuti kompetisi penuh prestasi, sehingga menjadikan warkop
maupun café sebagai coworking space
yang melahirkan banyak inovasi dan start-up.
Sebaliknya, di tangan tidak bertanggung jawab, wifi gratis bisa menjadikan warkop dan café sebagai sarang
penyamun, yang menjembatani kejahatan cyber,
maraknya berita hoax, dan bertebarannya konten-konten asusila yang tak pantas
untuk masyarakat beradap seperti kita di Indonesia.
Syukur sekali bila kita semua saling menyadarkan, untuk
peduli dan saling mengontrol kehadiran wifi di sekitar kita. Jangan sampai wifi-wifi ini sebagai wabah yang
menularkan penyakit mematikan. Sebaliknya, ayolah kita jadikan wifi-wifi yang ada sebagai sarana
bertranformasi dengan selalu melahirkan prestasi.