KEPERGIAN Pak Harto untuk selamanya, memang meninggalkan banyak cerita. Termasuk juga cerita di balik peliputan para pemburu berita yang hari itu (28/1) memadati sekitaran rumah mantan penguasa Orde Baru itu, di Jl. Cendana Jakarta.
Pada saat bersamaan dengan hari pemakaman Pak Harto, saya menginjakkan kaki di Stasiun Gambir, Jakarta. Jam sudah menunjukkan pukul 07 kurang, Mas Habe (BISNIS JAKARTA) langsung menyonsong saya untuk meluncur ke Cendana.
Pagi itu, Jakarta cukup lengang. Padahal biasanya, Senin-Jumat ruas jalan utama yang Gambir-Cendana selalu padat. Mungkin karena sejak hari Minggu warga Ibu Kota sudah mengetahui bahwa hari itu akan dilakukan pemakaman mantan presiden RI ke-2, sehingga aktivitas masyarakat tidak begitu ramai di jalan. Prosesi pemakaman Pak Harto sendiri diawali dari pemberangkatan jenazah dari kediamannya di Cendana menuju Solo, Jawa Tangan. Sebelumnya jenazah disalatkan dulu di Masjid At-Tien kompleks Taman Mini Indonesia Indah dan dilanjutkan menuju Bandara Halim untuk diterbangkan ke Solo.
Mas Habe yang pernah merasakan ancaman sniper Cendana, karena menulis “Pak Harto Sehat” hari itu juga terpanggil jiwa kewartawanannya untuk nyamperin Cendana. Padahal, seandainya Bapak Pembangunan tersebut masih hidup, pasti Mas Habe tidak seleluasa itu bisa menginjak-injak jalanan beraspal di kawasan Cendana. Hal itu terlontar dari seloroh beberapa rekan wartawan yang langsung menjabat tangan Mas Habe menandakan keakraban di antara mereka sesame pemburu berita.
“Berani lu (kamu) sekarang keliaran di sini…” seloroh seorang reporter radio yang terlihat begitu akrab dengan Mas Habe. Begitu pula ketika bertemu dengan kru salah satu televisi, gojlokan senada juga langsung menjewer telinga alumnus FBS Unesa yang pada masanya pernah menjadi andalah Bali Post untuk melakukan tugas-tugas investigasi khusus.
Ya, sebagai jurnalis tulen, rasanya tidak ada sumber berita yang tidak bisa ditulis sebagai headline hariannya oleh Mas Habe. Termasuk ketika meliput di Cendana hari itu. Meskipun sudah kehilangan moment upacara pemberangkatan jenazah Pak Harto, namun ternyata ayah dua Adam dan Caisar ini masih saja menemukan objek tulisan menarik. Dan, hari itu yang menjadi bidikannya adalah satu keluarga yang datang khusus ke Cendana sembari membawa karangan bunga duka cita. Keluarga yang terdiri atas Sang Kompyang Suci SH, istri dan dua anaknya itu datang sebagai keluarga pengagum Pak Harto.



ADA juga tokoh nasional yang sempat disamperin Mas Habe, seperti sejarahwan Des Alwi. Sepintas saat menguping hasil wawancara dengan saksi sejarah itu, terlontar sebuah pernyataan bahwa prosesi pemakaman Pak Harto merupakan pemakaman terbesar di Indonesia. Hal itu menurutnya, dibuktikan dengan jumlah pelayat yang terdapat dalam daftar buku tamu tercatat lebih dari 47 ribu orang. Belum lagi pelayat dan masyarakat lain yang berduka atas meninggalnya Pak Harto.
Dalam bincang santai di luar pagar halaman rumah nomor 8, jalan Cendana tersebut, Des Alwi juga mengaku sudah kenal Pak Harto sejak tahun 1946, ketika pasukan pejuang revolusi mundur dari Surabaya. Tak lama berbincang dengan Des Alwi, karena yang bersangkutan hendak pulang, Mas Habe ternyata masih sempat menambah sumber berita dengan mewawancarai pedagang kaki lima, penjual minuman keliling. Jadi, simpulannya adalah, tak perlu diragukan lagi mengenai kenadalan Mas Habe bila kelak kita percayai handle tabloid EDUKASI. Dijamin pasti makin oke. (*)