Puasa Ramadan selalu memiliki kisah tersendiri bagi kehidupan saya selama ini. Mulai dari awal melaksanakan puasa semasa kanak-kanak hingga dewasa kini, ada saja kesan yang tetap tersimpan dengan kesan yang berbeda-beda tentunya.

Sebagai ritual khusus yang berlangsung selama sebulan penuh, dari Ramadan ke Ramadan, saya memiliki catatan-catatan istimewa di setiap tahunnya. Dan, catatan Ramadan kali ini saya awali dari kenangan Ramadan semasa kanak-kanak di desa.

Masa kecil saya terurai panjang di sebuah dusun kecil, Padukuan Karangpoh, Desa Bungah, Kabupaten Gresik Jawa Timur. Tahun 80-an, kebanyakan warga di kampung setempat adalah petani. Perekonomian warga juga termasuk pas-pasan, sehingga sehari-harinya menu makanan juga berkisar nasi beras, jagung, ketela, dengan sayuran-sayuran seperti daun kelor, kangkung, dan labu putih. Sementara lauknya berupa ikan-ikan yang banyak ditemui di kali dan persawahan seperti bader, mujaer, gabus, belut, wader, dan beberapa jenis ikan air tawar lainnya.

Itulah kira-kira gambaran masa kecil saya 30 tahun silam di desa tersebut. Tentu, bila ditarik ke zaman sekarang, perubahan perekonomian masyarakat di sana sudah berbalik 180 derajat. Kampung yang dulu semasa kecil saya hanya dihuni beberapa puluh warga itu, kini telah memiliki ratusan kepala keluarga, pendatang dari desa-desa manca yang membeli tanah dan mendirikan rumah tinggal di sana. Tempat-tempat penuh kesan semasa saya kecil untuk mengisi suasana Ramadan, sekarang sudah tidak ada lagi di desa kenangan itu. Hampir semua sudah berubah menjadi kompleks hunian baru ala kota.

Balong atau semacam telaga tempat saya dan kawan-kawan sepermainan bermain air dan belajar berenang juga mencari ikan, kini sudah berubah menjadi kali dangkal yang diperuntukkan membantu irigasi persawahan yang tersisa. Pohon sukun yang dulu berjajar sepanjang jalanan masuk kampung, kini tinggal tersisa beberapa pohon saja, sehingga burung Dares atau burung Hantu yang biasa tinggal di gowok atau dalam bongkah dahan pohon-pohon sukun itu pun bisa dipastikan turut sirnah entah hijrah kemana.

Ramadan saya di tanah kelahiran sungguh tetap menyisakan kenangan. Salah satuya adalah keceriaan bersama teman-teman semasa kecil menyambut datangnya bulan puasa. Pada masa itu, saya termasuk anak-anak pantaran kedua. Pantaran adalah istilah untuk mengategorikan teman-teman berdasarkan umur. Teman-teman yang tahun kelahirannya sama biasanya disebut satu pantaran. Pantaran saya masa itu ada sekitar sepuluan orang, di antaranya adalah Sueb, Mahgfur, Maskur, Kamit, Naderon, Yusuf, Sokib, Nizar, Ismail, dan Huda. Kebanyakan dari mereka pun masih merupakan kerabat dekat saya. Anak-anak dari bude dan paman yang rumahnya hanya dipisahkan lompongan atau teritisan sebelah rumah juga kebun pisang.

Ada kebiasaan unik di antara kami yang selalu dilakukan saat menjelang Ramadan. Hari terakhir di bulan sya’ban biasanya kami hamburkan untuk membantu teman-teman ngaji di langgar (musala) untuk brokoan atau kerja bakti membersihkan langgar. Teman-teman sepantaran saya yang masih duduk di kelas 3 dan 4 SD/MI ditugasi Wak Kasun, sang guru ngaji kami sekaligu imam rawatib di langgar Baitul Muhibbin mengepel lantai sekaligus mencuci karpet yang ada. Sementara teman-teman pantaran remaja ditugasi mengerjakan hal-hal yang lebih rumit, seperti mengecat dan membenarkan speaker TOA yang sudah sangat berumur agar selama digunakan Tarawih tak mengalami troble. Pekerjaan ini kami lakukan bahu membahu khas anak-anak, yaitu sambil guyon atau bermain-main, tapi semua dapat selesai dengan baik.

Para orang tua kami, menjelang sorenya biasa menyuruh kami segera mandi dan menuju langgar lagi. Dan, usai salat Maghrib, kami para anak-anak yang biasanya belajar ngaji baca Alquran dibawah asuhan Wak Kasun, petang itu diliburkan dan diganti bersama-sama diajari doa-doa, antara lain doa mandi menjelang puasa, doa puasa, doa berbuka, dan doa membayar zakat. Itu semua dilakukan sampai adzan isya’ dikumandangkan. Tanda dumulainya Ramadan dengan salat tarawih berjamaah. (arohman/bersambung)