Hari-hari pertama menunaikan ibadah puasa terasa sangat menyenangkan bagi saya dan teman-teman sepantaran di desa. Dari kebiasaan berburu burung dan ikan di kali, sampai beradu keras suara mercon bumbung merupakan rutinitas mainan harian kami sepanjang Ramadan, di samping ngaji, tadarrus dan sembahyang tarawih bersama.

Malam pertama menunaikan tarawih seperti biasa semua sof penuh, bahkan kadang sampai meluap ke teras langgar. Anak-anak yang biasanya tidak ke langgar, malam itu juga turut ayah mereka ke langgar, bergabung bersama kami sepantaran untuk menunaikan salat tarawih. Salat jamaah di desa kami dilakukan tersendiri antara jamaah pria dan jamaah wanita, karena memang ada dua langgar yaitu langgar wedok (khusus prempuan) dan langgar lanang (khusus pria).

Tarawih dijalankan sebanyak 20 rakaat plus 3 rakaat witir. Usai tarawih berjamaan pada malam pertama, para warga dan kami, anak-anak sepantaran tidak langsung pulang. Biasanya kami turut asyik mengikuti pengambilan lotre atau undian pembagian puluran jaminan tadarus sepanjang Ramadan yang akan lewat. Puluran jaminan adalah makanan dan jajajanan serta minuman yang dihidangkan untuk para jamaah yang mengikuti tadarus Alquran. Setiap kepala keluarga mendapat kewajiban menyediakan makanan sesuai kemampuannya. Ada yang membawa masi kuning lengkap dengan lauknya, ketan dengan parutan kelapa dan sambalnya, juga jajanan-jajanan tradisional seperti lemper, grubi (tepung beras dicampur kacang hijau yang dimasak dengan dibungkus daun pisang) pisang goreng, sukun godog, buah pisang, dan lain-lain. Minuman yang disediakan juga bervariasi sesuai kemampuan, biasanya berupa teh manis, wedang jahe, juga wedang kopi. Semua dihidangkan setiap malam oleh setiap kepala keluarga sesuai urutan hasil undian seusai pelaksanaan tarawih pada malam Ramadan.

Saya dan teman-teman sepantaran biasanya juga melakukan dolanan di halaman dan jalanan sebelah langgar, usai ikut pembagian puluran. Dengan benerang lampu strongking dan deretan lampung ting, yaitu lampu minyak teplok yang diletakkan di atas tiang khusus sebagai penerangan jalan, kami bermain sodoran, atau biasa disebut gobak sodor. Permainan ini kami lakukan sampai semua kelelahan. Bila sudah lelah, tanpa mempedulikan siapa tim yang menang atau kalah, kami kemudian berkumpul kembali di teras langgar untuk tidur dan mempersiapkan diri membangunkan sahur dini hari nanti dengan keliling kampung.

Tidur kami tidak panjang bila Ramadan, karena begitu terdengar blenggur (gelegar suara mercon besar, atau berupa suara bedug yang sangat keras dari masjid saat dini hari) dari desa seberang bengawan (sungai bengawan solo yang ada di bagian selatan desa kami), kami semua seakan otomatis bangun dan langsung mencari peralatan seadanya untuk dibuat alat tabuhan musik patrol guna membangunkan para ibu yang mempersiapkan makan sahur bagi keluarganya.

Peralatan yang biasanya kami pakai keliling adalah botol, timba, kaleng cat, dan beberapa alat dapur yang sudah tidak terpakai. Dengan irama yang sudah terasah dari generasi ke generasi, perkusi yang kami lantunkan serasa merdu. Diiringi salawat nabi dan puji-pujian, bahkan kadang juga lagu Rhoma Irama, kami penuh semagat keliling kampung dan dusun sebelah untuk membangunkan warga makan sahur. “Sahur…! Sahur…!” begitu teriakan yang kami suarakan bergantian sepanjang jalanan.

Begitulah rutinitas masa kecil saya bersama teman-teman sepantaran menyamarakkan Ramadan. Masa-masa yang indah, yang saat ini menjadi motivasi tersendiri untuk bisa menjalankan ibadah puasa pada Ramadan yang selalu penuh barokah ini. (arohman/bersambung)