Hari-hari puasa tentu tantangan tersendiri bagi saya dan teman sepantaran semasa kecil. Meski semangat dan kegembiraan kami luar biasa saat menyambut kehadiran Ramadan, namun bukan berarti kami semua esoknya puasa sempurna. Usia kami yang rata-rata belum akil baligh kebanyakan tidak mampu nutuk atau berhasil menahan lapar dan dahaga sampai bedug maghrib. Tak jarang kami hanya mampu puasa bedug atau sampai tengah hari, dan ada juga yang sampai adzan Ashar saja. Hal seperti itulah yang kini membuat saya sadar bahwa membelajari puasa kepada anak-anak, termasuk kepada anak saya si Alif dan Olif juga harus bertahap. Tidak bisa sekonyong-konyong langsung sehari penuh. Dan, Alhamdulillah, tahun ini si Alif sudah mampu puasa penuh, sementara adiknya, si Olif masih belajar dengan poso sapi alias mari mangan diusapi (habis makan dilap agar tak ketahuan bila tidak puasa, hehehe).

Romantika puasa masa kecil kerap juga membuat saya tersenyum-senyum sendiri mengenangnya. Semasa kecil saya tergolong patuh berpuasa dibanding teman-teman sepantaran. Karena beberapa teman saya waktu itu saat sahur turut makan bersama ayah- ibunya, tapi ketika bermain mereka mokah atau meneguk air saat merasa haus atau ada juga yang malah makan mangga runtuhan di atara rimbun dan rapatnya pohon mangga milik Wak Kaji, salah seorang tuan tanah di kampung kami. Namun mereka tetap memasang muka kuyuh lemas saat kembali pulang ke rumah dan turut nungguh (menanti) maghrib bersama-sama keluarganya untuk berbuka.

Awalnya, pada hari pertama saya hanya mampu bertahan puasa sampai kumandang adzan dzuhur alias poso bedug. Kemudian esoknya kalau mampu akan ditingkatkan menjadi poso ashar, dan hari berikutnya poso maghrib. Setelah berhasil menunaikan puasa sampai maghrib, maka serasa sudah kewajiban bagi saya untuk terus melakukannya puasa sehari penuh. Teman-teman sepantaran saya juga melakukan hal serupa, sesuai yang diharapkan orang tuanya pula. Begitulah tradisi dan cara kami belajar puasa semasa kecil.

Hal yang paling saya sukai saat puasa adalah disediakannya menu-menu istimewa saat sahur dan berbuka puasa. Saat sahur biasanya ibu menyediakan menu pecel bandeng dan telur ayam rebus. Pecel bandeng yang saya maksud adalah menu lauk ikan bandeng yang digoreng kering, kemudian dipenyet di atas sambal petis, kecap, dan kacang tanah yang bentuk jadinya seperti bumbu rujak cingur tapi lebih pekat dan liat. Nasinya juga nasi putih (beras), bukan nasi jagung seperti hari biasa. Bandeng dan telur ayam pada masa kecil saya termasuk menu lauk istimewa. Sebab pada hari-hari biasa kami hanya mengonsumsi ikan kali atau ikan asin, sementara telur ayam lebih dimanfaatkan untuk dijual karena memiliki nilai ekonomis lebih atau kadang ya sebagai bahan barter bumbu-bumbu dapur dan minyak tanah di warung kelontong sebelah rumah.

Demikian pula saat berbuka, nenek selalu menyediakan kue serébeh berkuah santan sebagai menu hidangan takjil sekeluarga. Entah ini sebuah tradisi atau kebiasaan, sebab, seingat saya, nenek atau ibu selalu menyediakan takjil serébeh itu pada hari-hari awal saja. Sementara hari-hari berikutnya hidangan takjilnya berupa kolak labu kuning bercampur pisang atau sukun. Jarang sekali ada es, karena bila menginginkan es, maka siangnya terlebih dahulu harus membeliny di penjal es sebelah kantor kecamatan, yang jaraknya sekitar dua kilometer dari kampung tempat kami tinggal.

Kebiasaan nungguh maghrib juga menjadi rutinitas Ramadan yang paling paling kami nantikan. Teman-teman biasanya ada yang ‘membunuh jenuh’ dengan menaikkan layangan sowangan yaitu layang-layang berbentuk bulan sabit bertingkat dengan ujung dipasangi alat menyerupai busur yang disebut sowangan, sehingga ketika dinaikkan bisa berbunyi ‘wang… wang…”. Saya sendiri lebih suka menanti adzan maghrib dengan tidur-tiduran menahan lemas sekujur tubuh sambil mendengar siaran radio RRI Surabaya di gelombang 585 AM.

Dan, ketika adzan maghrib benar-benar berkumandang dari corong radio Telesonic kepunyaan ayah itu, kegembiraan pun membuncah. Saya pun seakan punya tenaga baru untuk segera bergegas ke dapur menyantap hidangan berbuka yang telah disediakan ibu. “Alhamdulillah….”

Sampai kini, ketika peristiwa itu berlalu sekitar 30-an tahun silam, namun masih saja saya tetap mampu merasakan kesenangan --atau lebih tepatnya sensasi-- yang luar biasa pada saat-saat menyambut waktunya berbuka. Sungguh benar apa yang dikatakan Rasulullah Muhammad SAW dalam HR.Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA “Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan; kebahagiaan tatkala ia berbuka dan kebahagiaan tatkala ia bertemu dengan Rabbnya.” Semoga puasa kita ini diterima Allah SWT. Amin… .(23/7-arohman/bersambung)