Sudah pernah merasakan kesedapan sate kuda? Ternyata, tidak banyak orang yang familier dengan jenis sate yang satu ini. Saya pun baru merasakan sensasi kelezatan daging kuda yang kesat itu, ketika berburu kuliner di ajang Festival Jajanan Bango 2009, Surabaya.

SELALU ada yang baru untuk dicoba. Itulah yang istimewa dalam setiap pagelaran Festival Jajajan Bango (FJB). Pada FJB tahun ini (8/8) yang digelar di Lapangan Brawijaya Surabaya lalu hadir lebih dari 70 penjaja makanan pilihan berdasarkan keunggulan resep warisan: bahan baku pilihan, cara memasak otentik, dan penyajian tradisional.
Dan, di antara stand yang kemarin tampak selalu dipenuhi pengunjung adalah Sate Kuda Kapasari Cak Moel yang juga menyediakan Tahu Campur. Ya, dari puluhan jenis makananan yang kemarin disajikan di arena FJB, sate kuda ini termasuk cukup unik karena jarang sekali dijumpai di tempat umum di Surabaya.
Sate Kuda Cak Moel ini rasanya sangat empuk, sehingga teksturnya mirip sekali dengan daging sapi meski sedikit kesat, bahkan seratnya pun hampir tak terasa. Padahal, biasanya sate kuda tak begitu disukai penikmat kuliner karena kerasnya tekstur dan aromanya yang kurang sedap. Namun ketika mencoba sate kuda ini bau kurang sedap kuda sama sekali tidak ada. Apalagi dengan sajian bumbu sate perpaduan kacang tanah goreng dan kecap Bango, aromanya makin merangsang untuk menikmatinya.
Disajikan dalam piring dengan irisan lontong plus cabe rawit sebagai pelengkap bagi yang menyukai rasa pedas, cukup memberikan sensasi tersendiri saat mencobanya. Harganya juga tidak mahal, seporsi hanya Rp. 16.000 atau Rp. 2.000 lebih mahal dari harha biasanya sewaktu jualan di PK5.
Para penikmat kuliner yang memadati tenda makan FJB, justru kebanyakan tak berani menikmati sensasi rasa sate kuda ini. Mungkin mereka kurang familier, padahal seandainya mau untuk mencoba, dijamin pasti ketagihan. Karena sekali lagi sate kuda milik Cak Moelyadi ini rasa dan aromanya benar-benar sedap, jadi sangat sayang untuk dilewatkan.
Dalam FJB kemarin, Cak Moel mampu meraup omzet sampai Rp. 8 juta. Menurutnya, itu merupakan hasil penjualan yang luar biasa bagi penjual makanan kaki lima seperti dia. Padahal dalam kesehariannya, pria yang membuka warung tenda di depan Rumah Sakit Adihusada Kapasari Surabaya itu, belum pernah mendapatkan pemasukan sebesar itu dalam sehari buka.


Sehari-hari pria yang mulai serius berjualan makanan sate kuda sejak tahun 2003 itu menghabiskan 3 kg daging kuda yang setelah diolah bisa menjadi 60 tusuk. Jadi, bila sepuluh tusuk dihargai Rp. 14.000, maka dalam semalam Cak Moel bisa mengantongi Rp. 250.000 dari hasil penjualan sate kudanya.
Stok daging kuda Cak Moel selalu ready, karena dia dipasok dari penyuplainya langsung asal Bojonegoro. Selain digunakan sendiri untuk jualan sate, Cak Moel juga bertindak sebagai distibutor daging kuda kepada penjual sate kuda lainnya yang ada di Surabaya. Per kilogram, daging kuda dibelinya Rp. 50.000.
Cak Moel berani membuka warung dengan jualan sate kuda, karena terinspirasi sebuah siaran kuliner di televisi, yang saat itu menayangkan liputan tentang sate kuda di Trenggalek. Menurutnya, selain langka, karena belum banyak yang berjualan, sate kuda juga ditengarai bermanfaat bagi kesehatan dan vitalitas tubuh. Selama ini belum banyak yang tahu bila Cak Moel yang asal Lamongan itu juga menyediakan sate kuda, karena warung tendanya lebih dikenal sebagai penyedia Tahu Campur. Padahal sejak lama, pria yang pernah menjadi pemborong bangunan itu sebelumnya telah mengawali bisnis makanannya di Gresik.
Mengenai rahasia kesedapan dan keempukan rasa sate kudanya, Cak Moel tak segan membuka rahasia. Menurutnya, daging kuda sebelum dijadikan sate terlebih dahulu dibersihkan dari semacam lemak/otot yang mengeras di bagian permukaan. Lapisan putih tersebutlah yang kemudian dibersihkan sampai benar-benar hilang, sehingga ketika dibakar keempukannya muncul. Daging kuda sendiri kebanyakan berasal dari kuda-kuda tua yang sudah tak mampu lagi dipergunakan untuk bekerja. Tak heran bila daging kuda keras karena permukaannya ditimbuni semacam lapisan otot.
Ditambahkan Cak Moel, sate kuda juga hemat kecap, karena rasa daging kuda sendiri menurutnya sudah cukup manis, sehingga dengan hanya sedikit tambahan kecap rasanya sudah pas. Apalagi dengan dibakar, maka keempukan dan kekasatan rasanya akan muncul dengan sendirinya saat dihidangkan untuk disantap.
Tentu dengan semakin memasyarakatnya sate kuda, secara otomatis varian kuliner nusantara akan terus terjaga. Apalagi, lokasi tempat Cak Moel jualan ini juga cukup potensial mengundang para wisatawan yang usai menikmati kemegahan Jembatan Suramadu untuk mampir sejenak ke Kapasari yang hanya berjarak 3 km dari gerbang Suramadu.
Nah, ketika ditanya manfaat apa yang diperoleh usai mengikuti FJB, Cak Moel mengutarakan rasa terima kasinya kepada Bango yang telah mengundangnya turut dalam acara FJB 2009. Di samping mendapatkan pemasukan cukup besar di ajang FJB, pembeli yang njajan (berkunjung) ke warung tendanya di Kapasari juga meningkat signifikan.
Selain itu, kata Cak Moel, kini dia juga banyak mendapat undangan untuk menyemarakkan event-event kuliner di Surabaya, seperti dalam Pasar Malam Tjap Tunjungam, dan Kuliner Ramadhan di ITC Mega Grosir Surabaya. Tentu prestasi membanggakan tersendiri bagi seorang penjual sate kuda pinggir jalan seperti dirinya.


FJB Mengutamakan Kualitas
Ya, puncak Festival Jajanan Bango (FJB) 2009, berlangsung penuh kemeriahan di Lapangan Makodam Surabaya. Tak kurang dari 25.000 pengunjung silih berganti memadati area di kompleks markas TNI Angkatan Darat di jalan Hayam Wuruk itu, untuk menikmati keunikan dan kelezatan aneka kuliner nusantara.


Ajang FJB tahun ini digelar di tiga kota besar Jakarta, Bandung, dan ditutup di Surabaya. Dipilihnya kota tersebut menurut Adeline Ausy S. Suwandi, Marketing Manager Spread Cooking Category & Savoury PT Unilever Indonesia Tbk, karena pihaknya menginginkan kualitas dari setiap event FJB. ”Kami memang berharap FJB bisa di semua kota besar di Indonesia. Dalam beberapa event FJB awalnya pernah digelar di Medan dan kota lain di luar Jawa, namun dengan pertimbangan sebagian besar penduduk Indonesia di Jawa yang notabene juga masakannnya identik menggunakan kecap, maka kita fokus gelar FJB tiga tahun terakhir ini di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Apalagi budget event seperti ini tidaklah sedikit, sehingga kita mengoptimalkannya dalam kualitas,” jelas Ausy di selah kesibukannya pada FJB Surabaya.
Menurut wanita yang sudah bergabung dengan PT Unilever selama 15 tahun itu, pihaknya selama ini juga pernah menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah setempat untuk penyelenggaraan FJB. ”Tahun lalu, bersamaan dengan 80 tahun Kecap Bango, FJB menggandeng Pemkot Surabaya yang waktu itu juga tengah berulang tahun,” terang Ausy yang menangani merek Bango per Januari 2009, setelah sebelumnya sukses mengantar program Mudik Bareng Sariwangi, pada beberapa tahun sebelumnya.
Ditanya tentang keistimewaan FJB tahun ini, wanita yang prestasinya sangat gemilang dalam mengantarkan kejayaan beberapa produk lain Unilever seperti Lifebuoy dan Rinso itu, menandaskan, ”Tahun ini kami hadirkan Kampung Bango. Di sini masyarakat bisa langsung melihat proses produksi Kecap Bango, dari mulai para petani menanam kedelai hitam jenis mallika, memilah-milah butiran-butiran biji kedelai hitam, pembuatan gula kelapa, dan proses pengemasannya. Semua itu kami sajikan sesuai tema FJB tahun ini ’Kekuatan Sepenuh Hati’ (the power whole-heartedness). Jadi, kecap Bango itu memang dibuat dengan sepenuh hati,” tutur Ausy bangga.
Selain Kampung Bango, tambah Ausy, FJB kali ini kami juga menyediakan tempat cuci tangan dan cuci piring, sehingga baik pengunjung maupun penjaja makanan dapat menikmati FJB secara nyaman dan aman. Ini semua kami siapkan dari evaluasi event-event sebelumnya. ”Banyak masukan dari setiap penyelenggaraan FJB di setiap tahunnya, dan kami langsung meresponsnya. Misalnya tahun lalu banyak pengunjung yang memberi masukan agar tempat sajian tidak berupa styrofoam, maka tahun ini pun kami menggantinya dengan piring dan mangkuk milamin yang aman bagi kesehatan.” tandas Ausy. (arohman)