SEJAK kecil aku paling suka mendengarkan radio. Kebiasaan itu bisa jadi meniru kesukaan bapak yang memang amat gemar menikmati siaran radio, khususnya siaran berita berbahasa Indonesia BBC London. Biasanya, bapak mendengarkan radio sambil rebahan di tempat tidur. Maklum siaran berita-berita BBC yang zaman itu hanya bisa dipantau melalui gelombang pendek SW mengudara pada pukul 5 pagi atau pukul 18 petang. Masih ingat benar, pada era itu tengah seru-serunya perang Iran-Iraq juga gempitanya kejuaraan sepak bola dunia di Mexico. Saya selalu mencuri dengar info-info dari radio merek Philips seukuran kotak songkok khas Gresik itu, saat disetel bapak.

Bapak yang hanyalah seorang buruh penambang batu di gunung padas milik juragan di desa kami, rutinitasnya sangat terbatas. Pagi sekitar pukul 06.30 berangkat ke bidang garapannya, lalu balik ke rumah menjelang dhuhur untuk makan siang sebelum kemudian kembali lagi meneruskan garapannya, dan baru pulang pukul 16.30 jelang maghrib.

Usai salat maghrib, aktivitasnya sudah tidak ada lagi, kecuali hanya istirahat di balai-balai (tempat tidur dari bambu) yang ada di ruang depan rumah sembari menyetel radio kesayangannya. Bapak yang menurut ceritanya tidak tamat SD, kadang hanya sesekali memperhatikanku yang belajar ditemani lampu minyak. Ketika itu belum ada listrik. Jadi benar saja, bila malam menjelang hiburan satu-satunya yang menarik tak lain hanyalah radio itu.

Kebiasaan mendengar radio ternyata benar-benar membuatku keranjingan. Dari sekadar turut mendengarkan siaran berita BBC, lama-lama aku kerap meminjam radio Philips itu untuk kunikmati sendiri. Pertama sekali aku senang mendengarkan serial Sanggar Cerita yang biasanya diputar salah satu radio swasta setiap hari minggu pagi. Pagi hari adalah waktu yang pas untuk meminjam radio bapak, karena jam-jam tersebut sedang ditinggal bekerja, sementara aku sendiri masih di rumah, karena sekolahku siang hari.

Kebiasaan mendengar radioku semakin tak terkendali, sehingga kemana-mana aku tak bisa lepas dari radio, termasuk ketika harus mengembalakan kambing ke ladang kosong di luar desa bersama teman-teman sebaya. Kali ini bapak membelikanku sebuah radio yang ukurannya lebih kecil dari radio pertama kami. Sebuah radio merek National yang dilengkapi tali multifungsi sehingga semakin memudahkanku menentengnya kema-mana. Cukup digantungkan saja dileher. Tak heran baterainya tak sampai seminggu sudah harus minta diganti, karena radio tidak pernah mati. Ya, hampir di setiap jam aku punya acara favorit di radio-radio tertentu. Misalnya saja radio Cakrawala yang menyajikan serial drama radio Pelangi di Atas Singasari. Lalu radio Carollina yang menyiarkan Tutur Tinular, radio RRI Surabaya dengan Butir-Butir Pasir di Laut-nya, radio Merdeka dengan drama Misteri Gunung Merapi, drama Ibuku Malang Ibuku Tersayang di radio Mercury, dan lawakan Triborolo di radio Suzana. Itu semua merupakan acara favoritku sepanjang SD-SMP. Tentunya selain acara ludruk Sidik CS yang banyak diputar di radio amatir (julukan radio swasta zaman dulu).

Begitu memasuki bangku SMA acara-acara favoritku mulai bergeser ke radio-radio anak muda. Awal tahun 90-an gelombang radio mengalami kemajuan dengan munculnya radio FM dengan format acara yang kian menarik, khususnya radio-radio anak muda, sebut saja radio EBS. Radio ini begitu menginspirasiku untuk bisa menjadi penyiar. Karena sepertinya sangat enak dan membanggakan menjadi penyiar radio. Bukan karena gajinya tinggi, tetapi karena banyak fans yang mengidolakan penyiar tertentu. Ya, banyak teman-teman sangat mengagung-agungkan penyiar radio. Mereka sangat terpikat oleh merdunya suara dan rayuan mautnya, meski tak pernah jumpa darat atau bersemuka langsung. Lucu memang…!

Dengan banyak mendengar penyiar-penyiar top saat itu, akhirnya aku dapat menirukan beberapa gaya penyiar. Bahkan saking ngefans-nya pada penyiar tertentu aku kerap berceloteh ala penyiar tanpa sadar, sehingga dianggap unik oleh orang-orang yang memperhatikanku. Alhasil, akhirnya aku pun terpincut untuk bisa menjadi seorang penyiar.

Seingatku, meski waktu itu belum lulus SMA aku sudah beberapa kali memasukkan lamaran ke beberapa radio favoritku. Namun semuanya tidak ada yang berbalas. Baru setelah aku kuliah di IKIP Surabaya, kalau tidak salah saat awal-awal semester IV ada lowongan diumumkan di radio. Yang pertama lowongan di Radio Suzana dan yang kedua di Radio Rajawali. Keduanya merupakan radio top di Surabaya pada masa itu.

Aku memasukkan lamaran ke Radio Suzana, saat itu aku juga berkesempatan untuk kali pertama bisa bertemu dengan penyiar idolaku, yaitu Bung Victoria dan Bung Dino. Bung Dino yang merupakan penyiar Panorama Pagi dengan pembacaan artikel-artikel pengetahua-nya, waktu itu dialah yang langsung mengetesku membaca artikel seperti yang biasa dia lakukan. Namun sampai di situ saja. Setelah itu tidak ada kabar untuk keberlanjutannya. Beda halnya dengan lamaran yang ke radio Rajawali. Aku dipanggil dan harus melakoni berbagai penyaringan dengan pesaing yang jumlahnya puluah orang dari berbagai latar belakang pendidikan. Bahkan ada yang sudah sarjana dari kampus ternama. Awalnya sih aku segan juga. Sempat grogi menghadapi persaingan dengan mereka. Namun karena aku sudah niat bulat ingin bisa menjadi penyiar maka terabaikanlah semua keraguan tersebut.

Proses menjadi penyiar akhirnya dimulai. Aku dapat melewati tes awal dan terpilih menjadi 10 besar sampai kemudian menjadi 5 besar. Dengan masuk 5 besar ini, kemudian aku harus mengikuti training selama 3 bulan penuh. Aku dengan antusias mengikuti training tersebut yang kujalani setiap pulang kuliah. Setiap hari aku harus menyisihkan dua jam untuk masuk ruangan rekaman sebelum kemudian nanti ditentukan cocok dengan karakter acara tertentu yang harus aku bawakan di acara on air yang sesunggunya. Selama training ini aku diberi uang transport Rp. 60 ribu per bulan. Itu merupakan uang pertama dari jerih payahku bekerja sendiri di kota orang. Uang yang lebih besar Rp. 10 ribu dari bekal jatah bulanan dari bapak di kampung untuk hidup kuliah di Surabaya.

Akhirnya, selama 3 bulan aku pun harus bekerja keras. Kuliah yang dalam pertengahan perjalanan aku niatkan jangan sampai rontok. Maka sebisa-bisanya aku tak boleh meninggalkan kuliah. Biasanya kuliah berlangsung tak sampai pukul 13 siang. Paling mentok biasanya sampai pukul 14.00 WIB.

Usai perkuliahan, biasanya aku langsung bergegas menuju terminal Joyoboyo dengan jalan kaki dari kampus Ketintang, lalu naik lyn F menuju kawasan Kusuma Bangsa untuk menjalani training di Radio Rajawali di Jl. Kacapiring Surabaya. Begitu terus aku jalani sampai tuntas 3 bulan.

Dari informasi Direktur Program Radio Rajawali saat itu, Bapak Ketut Wawanda, kabar diterima atau tidaknya menjadi penyiar nanti akan diinformasikan melalui surat. Aku bingung. Lewat surat? Aku alamatkan ke mana ya…? Sementara aku sendiri saat itu nebeng ‘ngekos’ di HMJ karena tidak mampu kos. Telepon apa lagi…! Akhirnya aku pasrah saja. Kalau Tuhan menghendakiku yang berhasil terpilih menjadi penyiar di radio itu pasti ada saja nanti jalannya. Meski aku juga tetap waswas karena memang sangat berharap bisa menjadi penyiar.

Suatu siang, saat rehat dari perkuliahan, ketika sedang santai di teras gedung G3, tiba-tiba ada gadis manis berparas ayu datang menghampiriku dan menyapa. “Mas, ini panggilanmu. Kamu sama aku dan mbak Vina yang diterima jadi penyiar.” Rupanya Dina, temanku semasa training telah mendapat panggilan dan telah melakukan wawancara akhir ke studio. Dengan niat baiknya, dia yang mengetahui surat panggilanku belum dikirim karena tak ada alamat, berinisiatif mampir ke kampusku dengan membawakan surat panggilanku. Terima kasih Tuhan, ternyata doaku terkabulkan. Aku akan bisa menjadi penyiar… terima kasih juga Dina, karena kalau sampai kau tidak mengantar surat panggilan itu, tentu aku tak kan pernah bisa menjadi penyiar.

Ironisnya, saat kali pertama aku harus memenuhi panggilan kerja menjadi penyiar itu, aku sempat sedikit berbohong kepada almarhum Pak Leo pengampuh matakuliah Analisis Wacana. Caranya dengan meminta surat keterangan dokter yang menyatakan aku sakit dan tidak bisa mengikuti UTS. Mohon maaf Pak Leo. Itu aku lakukan demi menangkap secercah kesempatan, bukan bermaksud lain.

Sebulan setelah menjadi penyiar, aku pun untuk kali pertama menerima gaji. Saat itu aku menerima amplop berisi uang tunai sebesar Rp. 175.000. Itu merupakan gaji penyiar part timer sepertiku awal tahun 1996. Kalau tidak salah per jamnya dihonor Rp. 2.500.
Begitu terima gaji, yang kutuju saat itu adalah JMP (Jembatan Merah Plaza). Waktu itu aku seperti biasa setiap bulan pasti pulang kampung. Dan kebetulan terminalnya masih di Jembatan Merah, dalam masa transisi akan dipindah ke Osowilangun. Aku pulang kampung sambil menenteng sebuah tape compo yang harganya tak sampai Rp. 100 ribu, yang selama puluhan tahun aku impi-impikan. Mimpi seorang anak desa yang akhirnya mampu diraih lewat jerih payah sendiri. Sungguh sangat mengesankan.

Kini, aku lebih mensyukuri apa yang telah aku terima dan miliki. Tanpa awal-awal yang pahit itu, tentu tak akan ada peluang yang mengantarkanku menjadi seperti sekarang ini. Semoga Allah SWT meridhoiku. Amin… (kang abu)