Selasa (29/10) malam, di halaman Gedung Rektorat Unesa kampus Lidah Wetan, ribuan insan terhipnosis tausiyah kebangsaan yang disampaikan KH. Ahmad Muwafiq atau yang biasa disapa Gus Muwafiq. Rektor Unesa, Prof. Dr. Nurhasan, M.Kes beserta jajaran pejabat Unesa lainnya turut khusuk menyimak ceramah bertema “Merawat Kebhinekaan untuk Indonesia Maju” yang digelar dalam rangka Dies Natalis ke-55 Unesa.

Dalam tausiyahnya, Gus Muwafiq banyak mengulas masalah kebangsaan dan nasionalisme. Dipaparkan bahwa saat ini ada sebagian anak bangsa yang mulai ragu dengan kebenaran bangsa Indonesia. Mereka ini ribut di dunia maya. Meraka tawarkan bukan lagi merah putih. Padahal, masih menurut Gus Muwafiq, merah putih telah mempersatukan Sabang sampai Meraoke.

Diceritakan oleh kiai kelahiran Lamongan itu, zaman kolonialisme, Belanda marah kepada merah putih. Oleh sebab itu para kiai tidak mengibarkan merah putih di depan rumah. Melainkan mengibarkannya di atas rumah. “Karena Belanda masih curiga, tiangnya dikasih tebu. Masih curiga diberi padi. Masih curiga ditambahi pisang. Masih tetap curiga dikasih lagi kelapa. Besoknya dibawakan makanan berupa ingkung dan tumpeng ke rumah itu. Belanda terkecoh dikiranya mereka hanya untuk makan-makan. Begitu makanan habis, Belanda pun kaged. Makanan habis, tebu dan pisangnya hilang, padi juga kelapannya mengering, yang tersisa tinggal merah putih. Itu dulu cara anak bangsa ini melawan Belanda dengan merah putih,” jelas Gus Muwafiq ditepuktangani hadirin.

“Maka ketika di Surabaya, ada merah putih ditambah biru, langsung disobek-sobek oleh santri Indonesia. Belanda marahnya luar biasa, karena bendaranya hilang warna birunya. Akhirnya Belanda ngamuk luar biasa. Ribuan nyawa dikorbankan untuk mempertahankan merah putih. Dan kemudian ulama yang yakin tentang wilayah meninggalkan yang namanya santri. Santri tak pernah ragu dengan nusantara, karena santri tahu persis tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” paparnya lagi.

Lanjut Gus Muwafiq, kemudian santri mengambil alih sikap melawan secara tegas dengan syariat melalui keputusan besar yang dinamakan Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945. Risolusi Jihad inilah yang menggerakkan seluruh santri. Maka dengan resolusi Jihad meledaklah peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai Hari Pahlawan. Tanpa 22 Oktober tidak akan ada 10 November. Maka 10 November menjadi hari pahlawan, dan 22 Oktober menjadi Hari Santri Indonesia.

“Tapi merah putih bagi anak millennial hanya berharga 50 ribu. Lupa dia minta ribuan nyawa. Anak millennial disuruh angkat tangan kadang mengatakan bid’ah dan musyrik. Ini satu hal yang membuat saya yakin, bahwa orang seperti ini pada zaman perang melawan Belanda, nenek moyangnya bukan bagian dari sejarah perang Indonesia,” tandas sang Gus.

“Makanya kalian anak-anak millennial, anak-anakku, kalian harus paham bangsa ini bukan bangsa kecil, dan bangsa ini terus berjalan. Kamu sekarang millennial mau kemanapun silakan, mau jadi Amerika silakan. Mau lebih Italy daripada orang Italy makan spageti, tapi kamu nggak bisa pergi ke Italy tanpa ditanya paspormu mana? Kamu boleh menjadi Korea daripada orang Korea, musik KPOP menjadi makananmu setiap hari, tapi kalau pergi ke Korea pasti ditanya, paspormu mana? Maka batas millennial adalah batas daerah yang namanya batas bangsa dan negara. Maka kamu boleh menjadi siapa pun  tapi jangan kamu lupakan bahwa kamu adalah orang Indonesia,” pungkas kiai.