Selepas jumatan di kampus Unesa Lidah Wetan (24/1/2020), tanpa direncanakan saya bertemu wartawan senior, Mas Djoko Pitono di lobi rektorat. Karena sudah saling kenal, tanpa banyak prolog, kami langsung salaman dan bertegur sapa.

Mas Djoko merupakan alumnus Bahasa Inggris IKIP Surabaya (Unesa) angkatan 1976. Beberapa media besar Jatim sempat dirambahkan, seperti Memorandum, Surabaya Post, dan Bisnis Surabaya, sebelum kemudian berlabu di JePe Book sampai sekarang.

Sejurus kemudian, Mas Djoko mengutarakan maksud kedatangannya, yakni menemui Rektor Unesa, Prof Nuhasan untuk meminta pendapat atau tepatnya testimoni tentang sosok seorang kiai top Jawa Timur yang akan dikukuhkan sebagai guru besar di salah satu PTN Surabaya.

Meski sudah membuat janji, ternyata perlu ekstra kesabaran untuk mendapatkan testimoni tersebut. Maklum kesibukan rektor yang superpadat. Jadi, meski sudah jelas jam dan tempatnya, masih perlu bolak-balik bertemu sekretaris rektor juga ajudannya. Hebatnya, Mas Djoko tetap tampak santai dan sabar. Sebagai wartawan senior, tentu asam-garam di dunia jurnalistik, khususnya dalam hal menemui narasumber telah mengasahnya untuk sabar dalam menghadapi berbagai situasi. Yang jelas, pulang harus bawa hasil. Testimoni harus di tangan.

Setelah menunggu hampir dua jam, kesempatan pun di dapat. Mas Djoko langsung dipersilakan masuk ke ruang rektor di lantai 8 gedung rektorat. Tentu bukan yang pertama, Mas Djoko dipanggil setelah seorang tamu lain terlebih dahulu mendahuluinya.

Dengan membawa beberapa buku dan lembar-lembar dummy tulisan, Mas Djoko yang berhadapan dengan Prof Nurhasan langsung mengutarakan maksud dan tujuannya. Setelah membuka smartpohone, menyalakan aplikasi recorder, keduanya kemudian asyik larut dalam pembuatan testimoni.

Rektor Unesa, Prof Nurhasan (kiri) sedang memberikan testimoni di hadapan jurnalis Djoko Pitono.
Dalam testimoni, Prof Nurhasan bercerita banyak tentang sosok Kiai yang dimaksud. Yang paling menarik, ternyata Pak Rektor pernah selama 40 hari bersama sang kiai menjalani ritual ibadah haji akbar di tanah suci. Perjalanan spiritual yang luar biasa menjadi bagian cerita hidup istimewa tersendiri bagi Pak Rektor. Karena selama sebulan lebih itulah banyak pengalaman rohani yang diterima Prof Nurhasan dari sosok kiai kharismatik yang sangat dikenalnya. Pagi, siang, malam, mereka selalu bersama dalam menjalankan ibadah, termasuk memilih haji ifrad sebagai pilihan utama menjalankan rukun Islam kelima.

Di mata Prof Nurhasan, sang Kiai sangat mumpuni dalam keilmuan yang ditekuninya. Semangatnya meraih ilmu melalui setiap jenjang patut diapresiasi. Bahkan, Pak Kiai tanpa sungkan juga pernah bertanya dan minta saran serta masukan kepada Prof Nurhasan, bagaimana cara bisa mencapai gelar guru besar. Sebaliknya, dengan tetap mengutamakan ketakziman kepada sang Kiai, Prof Nurhasan turut memberi tips dan trik untuk guna mendapatkan status profesor.

Tak lupa, Prof Nuhasan juga mengungkapkan rasa bahagia dan bangganya atas pencapain Pak Kiai yang akan menyandang status sebagai guru besar dan bergelar profesor. “Semoga bermanfaat bagi ummat,” pungkas Prof Nurhasan.

Usai mendapatkan testimoni, kami disuguhi teh dan kopi. Lalu, kami harus pamit meninggalkan ruangan nyaman di ketinggian lantai 8 Rektorat Unesa, karena Pak Rektor sudah kedatangan empat wakil rektor yang sudah antre untuk melaksanakan rapim terbatas.

Kesempatan luar biasa, bisa mendapat tambahan pengetahuan dari dua sosok berbeda. Yang satu; tahu banyak tentang sedikit hal (profesor), dan satunya; mengerti sedikit tentang banyak hal (wartawan).