SETIAP pagi saya selalu menikmati sarapan Kompas sembari menunggui anak-anak menanti giliran dimandikan ibunya. Jarang sekali saya membaca tuntas berita-berita yang menyoal masalah pendidikan. Namun pagi ini (1/11), saya cukup terhenyak meski tanpa respons emosional, karena terlintas sebuah judul yang bagi saya adalah menarik. “Pendidikan Bersifat Nirlaba” itulah tulis Kompas di halaman Humaniora, yang menyoal RUU Pendidikan tentang Badan Hukum Pendidikan yang mendorong pendidikan di tanah air agar berasas nirlaba. Mungkinkah…?
Sebagai orang awam yang tidak bersentuhan langsung dengan dunia pendidikan praktis, saya kok ya masih merasa pesimistis hal itu bisa terwujud. Apalagi, belakangan ini saya malah berkecimpung dalam ruang lingkup organisasi alumni IKIP Surabaya (Unesa) yang notabene pembicaraan sehari-harinya sedikit banyak pasti selalu menjamah rana bisnis dalam dunia pendidikan. Bahkan ada kecenderungan unsur bisnis itulah yang malah lebih mengemuka dibanding visi lain yang bersifat sosial.
Menurut hemat saya, mungkin masih banyak sekali ceruk peraturan dan perundang-undangan yang perlu diperbincangkan dan diejawentahkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Sebab, pembelajaran di sekolah dengan pola yang benar dan pembiayaan yang murah sampai saat ini masih sebatas debat kusir belaka. Ada memang sebagian kecil dari ‘cita-cita’ itu terlaksana. Misalnya, hadirnya sekolah cuma-cuma alias tanpa biaya, di tempat tertentu dan bagi jenjang yang telah ditentukan pula. Yang lebih penting lagi, sekolah cuma-cuma tersebut ‘hanya’ bisa diberlakukan masih di sekolah-sekolah negeri, --yang memang operasionalnya dibiayai melalui anggaran negara.
Mengacu pada fakta pendidikan dan problematikanya saat ini, menurut saya pendidikan barasas nirlaba ini juga merupakan sebuah kenisbian. Tak ubahnya punguk merindukan bulan, pendidikan di negara ini masih tak mampu melepaskan diri dari peran penting yayasan-yayasan pendidikan yang dalam praktiknya ternyata lebih mempuni dalam mengelola pendidikan dengan hasil keluaran yang tentunya lebih maksimal.
Alokasi 20 persen dana APBN untuk pelaksanaan pendidikan juga masih berupa amunisi kosong yang terus ditembakkan di ruang sidang wakil rakyat, bahkan sesekali dilempar ke permukaan sebagai slogan kampanye untuk menduduki jabatan di lembaga pemerintahan. Jadi, praktis jumlah Rp 44 triliun yang digelontorkan pemerintah lewat Departemen Pendidikan Nasional, sampai saat ini pun belum mampu menyentuh hal-hal dasar yang diperlukan. Pasalnya, masih banyak turut campurnya berbagai kepentingan di dalam sistem pendidikan nasional kita yang orientasinya bersebarangan dengan visi-misi pendidikan itu sendiri. Alhasil, pendidikan berasas nirlaba pun berjalan bak pepatah “panggang jauh dari api”.

Bagaimana Kesejahteraan Guru?
Bergulirnya wacana untuk menciptakan pendidikan berasas nirlaba, rasanya para penyusun RUU Pendidikan saat ini juga harus diingatkan kembali pada nasib para pahlawan tanpa jasa (guru). Sepertinya kesejahteraan inilah yang harus diletakkan sebagai program utama para Panitia Kerja (Panja) RUU Badan Hukum Pendidikan di DPR, untuk dicari solusinya agar mereka mampu mendapatkan income berkecukupan. Karena secara langsung pengaruh kesejahteraan guru akan menentukan pula hasil lulusan. Bagaimana pun konsentrasi dalam membimbing peserta didik, guru dituntut sepenuhnya mencurahkan segala kemampuannya tanpa harus memikirkan cari tambahan untuk anak-istri di rumah. (oleh: abdur rohman, s.pd) >>>bersambung….