JAGUNG termasuk salah satu bahan makanan pokok masyarakat Indonesia yang kurang begitu diminati, selain gaplek dan sagu tentunya. Padahal secara kandungan gizi jagung memiliki komposisi zat-zat makanan yang lebih komplet daripada beras. Selain sebagai sumber utama karbohidrat, bahan pangan pokok warga asli Madura ini juga mengandung zat gizi lain seperti: Energi (150,00kal), Protein (1,600g), Lemak (0,60g), Karbohidrat (11,40g), Kalsium (2,00mg), Fosfor (47,00mg), Serat (0,40g), Besi (0,30mg), Vit A (30,00 RE), Vit B1 (0.07mg), Vit B2 (0,04mg), Vit C (3,00mg), Niacin0,(60mg).
Dengan berbagai khasiat yang dimiliki jagung tersebut, tak mengherankan bila jagung juga dikenal sebagai bahan pangan yang cukup berkhasiat antara lain sebagai pembangun otot dan tulang, baik untuk otak dan sistem syaraf, mencegah konstipasi, menurunkan risiko kanker dan jantung, mencegah gigi berlubang, serta minyaknya dapat menurunkan kolesterol darah.
Nah, itulah sebenarnya rahasia yang mungkin selama ini kurang begitu kita ketahui, sehingga menganggap jagung sebagai menu pinggiran. Untuk itu, saya kembali coba ingat betapa jagung sangat membantu kehidupan penduduk di desa saya (Bungah Gresik) sekitar tahun 80-an silam. Kala itu, beras memang masih merupakan bahan pangan istimewa, sehingga meskipun setiap tahun panen padi penduduk di desa lebih memilih menjualnya dan uangnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Pada saat itulah peran nasi jagung cukup dominan di masyarakat.
Selang seminggu sekali, keluarga saya yang cukup banyak dan terdiri atas beberapa kepala rumah tangga, selalu bahu membahu menggiling jagung di tengah halaman. Dengan menggunakan dua buah lempengan batu berbentuk bulat pipih sebesar roda sekuter. Dua lempengan batu padas tersebut ditumpuk dengan bagian bawah sebagai tumpuan dan bagian atas sebagai gilingan yang bisa diputar karena di tengahnya terdapat poros kayu sebagai sumbu atau as, sehingga ketika tangkai yang menancap di salah satu sisi batu atas diputar membuat posisinya selalu stabil. Pada saat itulah Makde (panggilan bagi nenek kami) memasukkan segenggam butiran jagung ke dalam sebuah lubang kecil di bagian atas gilingan, dan seiring berputarnya gilingan batu itu keluarlah butiran-butiran lain yang berasal dari pecahan biji jagung. Segenggam demi segenggam dan seterusnya tangan cekatan Makde menggiling jagung disertai keluarnya butiran beras jagung.
Usai digiling, pecahan-pecahan jagung itu pun dipilah lagi menggunakan tempaian dan menghasilkan antara lain beras jagung (butiran utama), menir (butiran sedang), lembut (sesuai namanya adalah butiran yang sangat lembut), dan tumpi yaitu pecahan paling luar atau kulit biji jagung yang biasanya dalam tradisi keluarga kami kala itu dimanfaatkan untuk nyombor alias tambahan untuk minuma ternak kambing, atau kadang juga dipakai umpan memancing ikan putihan atau bader.
Setelah 20-an tahun berlalu, ketika saya tinggal di Surabaya, tak lagi menemukan makanan nasi jagung (bukan nasi empog asli Madura) itu. Nasi jagung menu sarapan pada saat itu adalah nasi jagung dicampur beras padi dengan komposisi 5:1. tampilannya benar-benar kelihatan jagungnya saja. Namun biasanya santapan sarapan tersebut kerap diplesetkan dengan nama nasi merah-putih. Karena di atas bakul atau piring tampilannya memang merah (beras jagung) dan putih (beras padi).
Untungnya, dalam beberapa bulan terakhir saya kadang dapat mengobati kerinduan sarapan nasi jagung, karena ada seorang bakul keliling yang setiap pukul 9 pagi melintas di gang tempat tinggal saya (Jetis Kulon, Surabaya). Komposisinya memang tidak sama dengan sajian menu sarapan keluarga kami dulu. Yang jelas ada kekhasan tersendiri dalam nasi jagung ini, misalnya saja lauk yang disertakan adalah ikan asin, sayurnya ramban (dari daun-daunan; daun singkong atau lainnya), sambal terasi, plus sedikit serundeng. Inilah nasi jagung yang biasa saya nikmati selepas jalan-jalan pagi bersama anak-anak setiap hari Minggu.
Di desa dulu, keluarga saya biasanya menikmati nasi jagung dengan tambahan dodo (kuah) sayur daun kelor. Apalagi bila disantap hangat-hangat ditemani teh manis di tengah cuaca musim penghujan yang cukup dingin. Bahkan, menu nasi jagung seperti itu berlangsung tanpa jeda dari sarapan, makan siang, dan makan malam tanpa membuat bosan. Kini, nasi jagung itu telah tiada dan tergantikan oleh menu-menu yang menasional bahkan tak jarang juga makanan cepat saji ala luar negeri lebih difavoritkan oleh anak di keluarga kami, yang terpaksa saya pun harus mengikuti. (arohman)