Warna-warni kemeriahan FJB 2008, di Lapangan Brawijaya, Surabaya.


AGENDA wisata kuliner selalu menarik dan tetap layak jual. Buktinya, animo masyarakat terhadap penyelenggaraan event yang bertema kuliner selalu dipadati pengunjung. Selain memiliki impact langsung terhadap produsen makanan dan penunjangnya, masyarakat juga selalu membutuhkan refreshing yang murah namun mampu mengumpulkan satu keluarga. Karena ajang makan-makan biasanya paling tepat sebagai sarana melepaskan masalah dan merumuskan kembali berbagai persoalan secara enjoy.
Hal itu tampak nyata dalam pergelaran Festival Jajanan Bango (FJB), PT Unilever Tbk, 2008, di Surabaya (10/5) beberapa waktu lalu. Pada acara yang dihelat produk kecap ternama di Lapangan Makodam V Brawijaya Surabaya tersebut, tumpah ruah warga silih berganti memadati areal lapangan yang terletak di Jl. Hayam Wuruk Surabaya itu.
Para pengunjung yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat itu datang demi dapat menikmati sajian istimewa warisan kuliner nusantara. Mulai dari aneka jajan pasar yang di Surabaya biasanya terpusat di Pasar Blauran, hingga Soto Udang asal Medan yang hanya bisa ditemui di arena FJB hari itu, mulai pukul 10.00 – 22.00 WIB.
Hari itu, setidaknya ada 80 jenis makanan tradisional dari segenap penjuru Surabaya dan sekitarnya, ditambah delapan makanan khas duta dari beberapa daerah se-nusantara. Menurut Memoria Dwi Prasita (Brand Manager Bango), diusungnya 80 makanan khas pada FJB 2008 kali ini dengan tujuan melestarikan makanan tradisional nusantara, sekaligus merayakan ulang tahun Kecap Bango yang ke-80 tahun.
“Tujuan Bango menyelenggarakan Festival Jajanan Bango sebenarnya hanya satu, yaitu melestarikan makanan tradisional nusantara. Caranya, kita menghadirkan makanan-makanan iconic yang khas, terkenal dari kota Surabaya. Dihadirkan oleh penjaja makanan tradisional yang juga iconic dan terkenal pula. Misalnya kalau kita ngomong Nasi Udang maka sudah ada Nasi Udang Bu Rudi. Kalau Tahu Tek ada Tahu Tek Pak Ali, mau Lontong Balap ada Lontong Balap Pak Gendut. Jadi basicly yang mau kita hadirkan bukan hanya makanan yang terkenal dan khas, tapi juga dihadirkan oleh penjaja makanan yang populer di antara masyarakat Surabaya,” paparnya kepada media.
Disinggung mengenai manfaat yang diharapkan dari suksesnya penyelenggaraan FJB, wanita yang murah senyum itu mengatakan, “Kita melihat Bango sudah ada di Indonesia selama 80 tahun. Dari mulai 1928 sampai 2008. Selama itu, begitu banyak makanan tradisional yang cita rasanya itu dipermantap oleh kecap Bango. Kita sudah melihat begitu besarnya peran kecap manis dalam aneka makanan tradisional, makanya kita berpikir Bango ini besar kaitannya dengan makanan tradisional Indonesia,” jelas Memor.
Ditambahkannya, “Selain itu, banyak sekali makanan tradisional dari nenek moyang kita turun temurun ternyata tidak diketahui secara luas oleh generasi kita. Apalagi generasi di bawah kita nanti. Jadi, yang Bango lakukan adalah bagaimana caranya supaya makanan-makanan ini tetap ada sampai beberapa generasi ke depan, dan kita kembalikan kepopularitasnya, jangan sampai kalah dengan makanan-makanan manca negara,” tandasnya.
“FJB kali ini termasuk spesial. Bersamaan dengan ulang tahun ke-80 ini, kita menghadirkan 80 jenis makanan tradisional nusantara. Tidak hanya makanan tradisional, tetapi makanan yang kita rasa perlu dilestarikan, sudah ada secara turun temurun, dan sudah ada sejak generasi-generasi di atas kita, sambung Memoria.
“Kemudian kita juga punya 8 duta Bango yang kita hadirkan dari luar kota Surabaya, seperti Jakarta diwakili Ketoprak Ciragil, Cirebon dengan Sangu Tutug Oncom Saung Kiray, daerah Malang kita punya Nasi Bug Trunojoyo, kemudian Solo ada Tengkleng Ibu Edi, pokoknya kita hadirkan 8 duta Bango untuk memperkenalkan makanan tradisional dari kotanya masing-masing,” jelasnya. (arohman)