HARI Minggu di penghujung tahun 2011 lalu merupakan hari yang bersejarah bagi Alif. Anak sulungku ini telah berhasil melalui salah satu fase dalam kehidupannya, yaitu sunat atau berkhitan. Tepat pada penanggalan 25 Desember 2011, dia sudah memasuki usia 9 tahun lewat 9 bulan sekaligus mencatatkan sejarah tersendiri dalam hidupnya. Dia merelakan ujung ‘burungnya’ dipotong di ruang praktik dr Widyawati, Karah Agung Surabaya.

Sebenarnya Alif sudah sejak awal tahun lalu telah memiliki keinginan disunat. Namun keinginan tersebut angin-anginan. Maklumlah, sepertinya dia juga agak takut menjalani sunat. Padahal sudah berkali-kali aku katakana bahwa sunat itu tidak sakit. Paling rasa sakinya seperti digigit semut, yaitu pas disuntik penahan rasa sakit saja. Aku selalu menandaskan begitu. Betul tidak sakit. Wong aku sendiri sudah pernah mengalami sunat. Itu pun saat usia ayahmu ini masih sekitar 6 tahun, saat kelas satu Ibtidaiyah (SD). Tapi, ya dasar anak-anak. Ada saja cara untuk ngeles atau menghindar, sehingga acara sunat itu pun sempat beberapa kali tertunda, dan sampai akhirnya kemarin hari itu terlaksana dengan sukses.

Keberanian Alif untuk sunat kemarin juga antara iya dan tidak. Dua hari sebelumnya dia baru saja mengakhiri masa ujian semester gasal dan dilanjutkan menerima raport dan kemudian liburan. Nah, waktu liburan inilah yang dimanfaatkan untuk sunat, sehingga tak harus bolos sekolah.

Ketika menghadapai anak yang sudah siap mental untuk sunat, aku dan ibunya pun bergegas mendatangi dokter langganan keluarga yang tak jauh dari tempat tinggal kami. Kami konfirmasikan waktunya yang pas. Jauh waktu sebelumnya kami sudah pernah sampaikan niat menyunatkan Alif ke dokter tersebut, namun karena waktu itu bersamaan dengan sang dokter harus bertugas sebagai tenaga medis haji ke tanah suci, kami pun harus menahan sabar, menunggu sampai beliau kembali, sepulang berhaji.

Sewaktu kami datang untuk kedua kalinya kemarin, sang dokter sudah ada. Dan, akhirnya disepakati hari Minggu (25/12) itu sebagai waktu khitan Alif.

Minggu pagi kami sudah siap semua menuju dokter. Tapi tiba-tiba saja ketika hendak berangkat, Alif tampak agak gerogi. Tangannya terasa dingin dan berkeringat. “Wah, gawat. Jangan-jangan dia tak mau lagi disunat, karena takut lagi,” batinku dalam hati. Ibunya agak bingung juga mendapati perubahan Alif seperti itu. Padahal sudah dijadwalkan oleh dokter pukul 09.00. Untungnya sang ibu dengan sabar memberinya pengertian dan motivasi. Sambil dinasihati dan sesekali dirayu, termasuk dibelikan es krim kesukaannya di Indomaret depan gang rumah, akhirnya kami pun benar-benar berangkat ke dokter untuk mengantar si jagoan itu sunat.

Sampai di tempat praktik dokter, sang dokter sudah menunggu kami. Kami pun dipersilakan masukyang kami sambut dengan senyuman senang. Lain halnya dengan Alif, yang justru malah semakin pucat. Matanya juga tmpak berkaca-kaca hendak menangis. Dia sepertinya ketakutan. Takut disunat.
Ketika berada di dalam ruangan praktik, dokter pun menyuruh Alif melepaskan celananya dan tidur telentang di atas tempat tidur untuk dilakukan operasi ringan, berupa pemotongan kulup atau ujung penutup kelaminnya. Dengan sisa-sisa keberaniannya,pertahanan Alif pun runtuh. Dia tak kuasa menahan tangisnya. Dia luapkan emosinya dengan menangis sangat keras. Melihat suasana histeris seperti itu, istriku kembali berusaha menenangkan Alif. Dengan berbagai jurus rayunya, akhirnya secara perlahan Alif kembali tenang. Dia tak lagi menangis usai disuntik “patirasa” atau penahan rasa sakit sebelum dieksekusi.

Alif menjalani sunat menggunakan motode Flash Cutter, dimana proses pemotongan kulit penutup depan penis atau frenulum bukan menggunakan pisau bedah atau alat lain, melainkan menggunakan panas yang tinggi tetapi dalam waktu yang sangat singkat. Konon metode ini memiliki kelebihan dalam hal mengatur pendarahan, dimana umum terjadi pada anak berumur di bawah 8 tahun, yang memiliki pembuluh darah yang kecil dan halus.
Dalam wikipedia.org diterangkan bahwa metode Flash Cutter ini merupakan pengembangan dari metode electrocautery. Metode ini menggunakan sebilah logam yang sangat tipis dan diregangkan sehingga terlihat seperti benang logam. Logam tersebut kemudian dipanaskan sedikit menggunakan battery. Hal ini dimaksudkan untuk membunuh bakteri yang kemungkinan masih ada, dan juga untuk mempercepat pemotongan. Karena alat ini menggunakan battery, alat ini cenderung lebih mudah dibawa sehingga beberapa dokter yang memiliki alat ini bisa melakukan proses sirkumsisi di rumah pasien sampai selesai.

Nah, karena sistem pengoperasian Flash Cutter berbasis pemanas, maka ketika dokter memotong “si kulup” langsung tercium aroma kulit/daging terbakar. Dengan menggunakan alat semacam penjepit, kulup yang hendak dihilangkan itu diangkat, lalu “cling” dalam beberapa nyosan saja langsung putus. “Kok bau gosong?” komentar Olif yang pagi itu turut mengantar kakaknya sunat.

Usai dihilangkan bagian ujungnya, burung Alif pun dirapikan dengan beberapa jahitan lalu dibersihkan dengan obat antibakteri. Untuk melindungi luka dan bekas jahitan yang ada, ditutuplah dengan perban agar “si kecil” itu tak terganggu dulu untuk beberapa hari, supaya cepat pulih.

Kini Alif telah memiliki sesuatu yang baru. Yang pasti akan sangat membanggakannya. (kang abu)