Gampangnya begini. Malam kemarin saya
mampir di sebuah kedai kopi kekinian. Tempatnya tak jauh dari tempat tinggal
saya. Suasananya cukup artistik dengan bangku-bangku tinggi model bar, serta sebagian
lain berupa meja kursi ala resto kebanyakan.
Saat masuk ada dua pelanggan. Satu orang sedang
asyik bekerja di hadapan laptop, satu lainnya sibuk memainkan gitar yang tak terdengar
bunyinya.
Saya pun ngeloyor langsung ke meja kasir sekaligus
tempat pemesanan menu. Di sana seorang wanita muda tengah ngemil makanan --sebelum
sadar atas kehadiran saya--, kemudian bergegas membereskan makanan di depannya
dan segera menyambut dengan welcome speak.
Pria muda langsung keluar dari balik celah
di belakang, turut nimbrung sambil basa-basi menawarkan beberapa menu
andalannya. Seperti biasa, saya langsung tanya menu paling istimewanya sebelum
pesan. Saya mencoba tanyakan kopi manual brew, untuk meyakinkan ada tidaknya. Karena
yang terpampang di papan menu sekilas memang tak tampak tercantum.
Dengan cekatan, wanita muda tadi secara
diplomatis menjawab bahwa kedainya menyediakan kopi bland Long Black atau
Americano. Itu berarti satu-satunya menu kopi beneran (original been) yang tersedia. Lainnya ada banyak varian yang sudah
dikombinasikan ala menu kopi kekinian.
Pilihan saya jatuhkan ke long black saja, sekalian
pesan latte tanpa gula untuk mencoba keunikan rasanya. Sambil terus melototi
lembar menu yang terpampang, saya cari kudapan yang pas. Ternyata di deretan
daftar camilan ada tertulis “lumpia pisang”.
Untuk mengobati penasaran, saya tambahkan
pesanan lumpia pisangya juga. “Apa nih lumpia pisang?” tanya saya. Dan Kembali dengan
bahasa jualan yang mengena, wanita di dekat kasir itu memberikan gambaran bahwa
satu paket berisi dua varian yakni vanilla dan cokelat.
Saya pun membayar pesanan, dan dipersilakan
memilih tempat duduk untuk menantikan minuman dan kudapan diantar.
Saya memilih tempat yang kosong. Kedai itu
dua lantai. Tampaknya di lantai atas agak penuh. Itu terlihat dari banyak
kendaraan di parkiran, tapi di bagian lantai bawah lengang-lengang saja. Saya
pilih kursi luar ruangan agar bisa mendapatkan udara yang bebas. Lalu tak selang
berapa lama wanita tadi mengantarkan minuman pesanan saya. Satu dalam gelas
kopi sekali pakai berisi long black, dan satunya secangkir kopi latte dengan
hiasan gambar waru yang agak pudar.
“Silakan dinikmati kopinya. Makanannya setelah
ini datang,” jelasnya.
Oke, tak perlu berlama-lama, setelah
nyeruput long black, pria yang tadi di kasir menghampiri meja saya mengantarkan
makanan. Ini dia lumpia pisang.
Begitu diletakkan di atas meja, saya pun
langsung mencicipinya. Satu kotak kertas berisi empat potong. Kelihatan dari
warnanya, dua berasa cokelat dan dua lainnya pasti vanilla. Keempatnya ditempatkan
berselingan.
Penampakannya persis lumpia. Persegi panjang
dengan pinggiran mengerucut memutar. Di atas permukaanya terdapat serbuk lembut
berwarna putih. Itu adalah gula halus. Disertakan lidi bambu seperti tusuk sate
sebagai alat bantu makan pengganti garpu. Cresss! Terasa kering di permukaan
begitu lidi ditusukkan. Dalamnya lembut agak kenyal tapi mudah ditembus oleh
lidi itu.
Setelah merasa yakin dan pas, saya
mengangkatnya, mengarahkan ke mulut untuk menikmatinya, tapi sedikit terganggu
dengan serbuk gula yang tanpa kenal rasa sopa berhamburan mengotori baju dan
pakain saya lainnya. Nyesss… kulitnya renyah. Nyammn… dalamnya agak kenyak
berasa pisang yang dilumeri cokelat. Agak dingin. Mungkin bahannya sebelum
dilapisi kulit lumpia pisangya disimpan dulu dalam kulkas. Rasanya enak.
Inovasi
itu Mengubah Harga
Inilah lumpia pisang. Menu baru yang saya
nikmati di kedai bernama Cawan Madu. Sebanarnya dari hal rasa sama seperti pisang
cokelat yang biasa saya beli di bakul gerobak pinggir jalan. Namun dengan sentuhan
tangan kreatif dan penamaan yang inovatif, menu yang sebenarnya adalah pisang goreng
itu bisa naik kelas dan berharga lebih mahal dari biasanya.
Pisang goreng dengan wujud aslinya biasanya
mampu dijual dengan kisaran harga seribuan. Atau kalau empat potong ya paling 4
– 5 ribuan rupiah. Namun dengan cara penyajian yang beda, penamaan yang lebih ‘nyeleneh’
di sini disebut lumpia pisang, malah bisa menjadikannya langsung naik ranjang,
eh naik jenjang. Pisang goreng yang ala gerobakan seketika naik kelas sebagai
menu istimewa menjadi sajian pilihan di kafe kekinian dengan harga di atas 20
ribuan.
Dari pengalaman ini, tentu kita bisa
mengambil pelajaran bahwa segala sesuatu yang biasa saja bisa diubah menjadi
luar biasa. Hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan, tapi begitu diulik
dengan cara yang tepat dan benar akan mampu mengubah nasib serta keberuntungan.
Inovasi tidak selamanya harus yang luar
biasa. Inovasi bisa lahir dari sesuatu yang sederhana seperti di atas. Inovasi
hakikatnya adalah upaya kita dari yang sudah ada kemudian ditingkatkan lagi
menjadi lebih istimewa. Tidak banyak orang yang mampu dan dianugerahi keahlian
seperti itu. Diperlukan intuisi dan kebiasaan terasah untuk bisa menghasilkan
banyak inovasi yang kemudian dapat mengubah kehidupan kita.
Yuk, kita terus belajar dari sekitar untuk
lebih berdaya dan makin bermanfaat lebih untuk semua.