Teknologi VAR (The video assistant referee) telah diterapkan di salah satu Liga ternama dunia, Premier League atau biasa dikenal dengan Liga Inggris. Sebagai negari sepak bola terseru di kolong jagad, FA –PSSI-nya Inggris—sedikit agak telat menerima pemberlakuan VAR di kompetisinya. Alasannya, VAR dinilai akan mengurangi drama-drama seru yang dilakoni para aktor lapangan. Namun demi tegaknya fairplay dan meminimalisasi ketidakjujuran atau kecurangan pemain, maka VAR dijadikan solusi, yang kini dampaknya mulai dirasakan.

Ya, VAR kini sudah menjadi sandaran kebersihan permainan sepak bola, terlepas dari kontroversi yang terus menyertainya pula. Contoh terakhir adalah kekalahan Chelsea 0-2 dari Manchester United. Dua gol The Blues dianulir karena dinilai offside dan adanya pelanggaran. Dari tayangan ulang melalui tampilan VAR, potensi gol pertama Chelsea dari Kurt Zouma dianulir karena sang pemain terlebih dahulu melalukan pelanggaran terhadap pemain MU sebelum melesakkan gol. Demikian halnya potensi gol kedua The Blues yang dihunjamkan Olivier Giroud dianggap tidak sah, karena pemain Perancis itu sepersekian centi terlebih dahulu offside.

Apapun hasilnya, Chelsea harus mengakui lagi keunggulan Setan Merah tiga kali beruntun dalam musim ini. Dan meski sempat terjadi sumpah serapah selama pertandingan dan seusai laga, namun semua bisa berterima berkat nilai-nilai kejujuran yang diajarkan dalam penerapan VAR. Ini yang harus kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam menjalankan kehidupan, kadang tebersit ketidakjujuran muncul dari lubuk hati terdalam. Aksi lempar batu sembunyi tangan, atau bentuk-bentuk potensi kecurangan lain kerap berseliweran di sekitar kita demi tercapaianya obsesi tertentu. Nah, itulah yang harus kita rem bersama. Belajar dari teknologi VAR dalam sepak bola, kita bisa mengibaratkan diri sendiri sebagai pemain atau tim sepak bola, sementara VAR-nya adalah kejujuran diri sendiri.

Menjunjung tinggi spotivitas dalam sepak bola juga harus kita ejawentahkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat. Mengikuti aturan hukum yang berlaku adalah hal yang secara sadar harus mengalir dalam segala gerik kehidupan. Diawasi maupun tidak oleh seseorang, bila sudah disepakati sebagai aturan harus kita hormati sebagai tatanan hukum dan moral dalam berperilaku. Aturan dan norma juga perlu kita pahami dan pahamkan kepada warga masyarakat, bahwa tatanan itulah yang akan membawa kemuliaan hidup.

Bagi mereka yang mengimani adanya dua malaikat pencatat amal; Rokib dan Atit pada setiap individu manusia, pasti siapa pun akan selalu menjaga keimanannya dari segala godaan. Sebab baik dan buruk akan tercatat otomatis dalam buku amal manusia yang kelak akan membawanya ke surga atau neraka. Nah, itulah yang terpenting bahwa setiap manusia akan memiliki tujuan akhir, sehingga segala yang berlangsung dalam kehidupannya akan dimintai pertanggungjawaban.

Sanksi berat yang akan diterima bagi yang abai akan ketidakjujuran juga bisa menjadi pelajaran. Itu pula yang terjadi dalam dunia sepak bola. Klub kaya sekelas Manchester City pun harus menanggung akibatnya. The Cityzen yang didakwah melanggar finansial fariplay oleh UEFA pun harus rela meninggalkan gelanggang kompetisi terhormat Eropa selama dua musim setelah terbukti bersalah. Klub milik Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan benar-benar harus meratapi nasibnya, akibat curang dan mengakali keuangan klub yang lebih banyak didrop dari pundi pribadi sang majikan.

Sekali lagi, inilah kejujuran yang harus dijunjung tinggi dalam setiap gerak kita. Kejujuran yang diajarkan oleh dunia sepak bola ini, pas juga untuk kita jadikan acuan mengukur ke-fairplay-an bersama. Tidak ada salahnya kan, kita belajar kejujuran dari sepak bola? Jujur…!